Selasa, 16 Juni 2009

Quo Vadis Komitmen Kerakyatan?

Oleh: Saeroji Alghazaly

Pemilu Legislatif memang telah berlalu. Sebentar lagi, mereka yang memenangi pemilu legilsatif (pileg) kemarin bakal dilantik. Banyak wajah baru memang, namun tak sedikit pula muka lama kembali nongol. Lantas, akankah track record mereka dalam mengemban amanah konstituen itu, lebih bagus dari yang kemarin? Atau jangan-jangan nambah jeblok. Apalagi sudah bukan rahasia, bila dalam proses pemenangan kemarin tak terlepas dari persoalan uang, siapapun itu. Artinya yang kantongnya tipis, mbok ya jangan terlalu ambisi menang. Walaupun, yang duitnya tebal bukan jaminan untuk menang.

Apapun yang terjadi dan prosesnya seperti apa, itulah wajah demokrasi kita. Walaupun masih banyak bopengnya tetap saja, itulah cerminan masyarakat kita. Seolah sudah menjadi persoalan wajib, bahwa bermain politik yang harus punya uang. Persoalan ideologi yang dibangun partai, ataupun program-program yang bakal dilaksanakan, cenderung tidak dilirik. Masyarakat kita maunya memilih, kalau ada sesuatu. Kasihannya, mereka yang bertarung dalam pileg kemarin, banyak yang mengeluarkan dana tidak sedikit, namun perolehan suaranya tidak sebanding dengan dana yang telah digelontorkan. Karuan saja, mereka yang tidak kuat iman dan sikap sabar, banyak yang stres. lagi-lagi.., inilah wajah bopeng demokrasi kita.

Menyalahkan masyarakat, yang cenderung pragmatis-materialis dalam proses Pileg, jelas bukan sebuah sikap yang bijak. Kondisi dan situasi seperti itu muncul tentu ada sebab pertamanya. Gamblangnya, masyarakat kita (nyaris) sudah kadung tidak percaya dengan para wakil rakyat. Anggapan mereka, ketika sudah jadi, biasanya meninggalkan konstituen. Akibatnya, timbul 'kontrak' antara warga dengan peserta pileg ---yang umumnya tidak tertulis dan hanyalah sebuah komitmen tanpa akta. Mungkin faktor inilah yang membuat banyak peserta gagal dalam Pileg kemarin menjadi stres. Apalagi bila Caleg tersebut mempunyai sikap tidak siap kalah. Padahal dalam kompetisi apapun, selalu ada yang menang dan ada yang kalah.

Bagi seorang politisi sejati --bukan petualang dan pedagang politik, selalu tidak mengenal kata 'kalah', dalam pertarungan politik. Lembaga parlemen, hanyalah sebuah sarana formal untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan rakyat, terutama zona yang menjadikannya duduk di lembaga legislatif. Bagi individu yang 'betul-betul politisi' bukan 'politisi' tentunya sudah mempunyai setting agenda, dalam memperjuangkan kepentingan konsituen.

Dari pengamatan yang ada, mereka yang 'betul-betul politisi' selalu mempunyai daya tawar tinggi di kalangan eksekutif maupun sesama anggota legislatif. Dalam setiap proses perumusan kebijakan strategis, pengawasan politis dan perumusan anggaran, selalu bersikap kritis yang berdasar pada hasil analisis. Tidak sekedar nyeletuk, setuju dan tidak setuju. Mereka yang 'betul-betul' politisi, selalu siap dengan konsep politis untuk mengelola roda pemerintahan dan pembangunan. Sehingga, ketika akan merumuskan sebuah kebijakan, selalu melihat pada aspek landasan yuridis formal, sosiologis dan filosopis. Bagaimana dengan mereka yang bakal menisi deretan kursi DPR hingga DPRD? Ya... kita berharap saja, semoga dalam merumuskan kebijakan politik, pemerintahan dan pembangunan, tidak asal-asalan. Betul-betul memanfaatkan peran dan fungsi sebagai legislator yang menguasasi permasalahan kemasyarakatan dan kepentingan politik bangsa ke depan. Begitu pula mereka yang bakal mengisi parlemen daerah, jangan mau dimanfaatkan kelompok eksekutif untuk menggolkan peraturan daerah --yang kebanyakan disodorkan kalangan eksekutif, tanpa sebuah pertimangan landasan filosofis, sosiologi dan yuridis formal. Sebab, tidak jarang kalangan legislatif di daerah, banyak yang kurang menguasai filosofis content sebuah draft perda dan cenderung menyetujui usulan ekeskutif. Dampaknya tentu berimbas pada wilayah rakyat.

Berkaca pada pengalaman masa lalu, pelaksanaan otonomi daerah dinilai banyak kelangan cenderung kebablasan. Para pengendali kebijakan di daerah banyak yang berorientasi pada peningkatan besaran dana untuk mengisi pundi-pundi yang kosong. Sementara, aspek keberdayaan masyarakatnya cenderung ada pada posisi bukan nomor wahid. Dampak yang muncul dan menggejala, tidak lain fenomena 'pamer' dalam lingkup pejabat daerah. Parahnya, tidak jarang menimbulkan kompetisi jabatan yang tidak fair, walaupun aspek-aspek kompetensi jabatan bagi PNS sudah jelas. Persoalan track record, kesesuaian pangkat dan golongan serta senioritas, tidak jarang pula terkalahkan oleh tautan kepentingan Top Leader di daerah. Ini harus kita akui, sebagai sebuah penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah --yang sejatinya mencerminkan keberdayaan masyarakat daerah.

Pembiasan ini, menurut pakar otda Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Drs Hariyadi MA, ada variabel penyebabnya, di antaranya, adanya lack of infrastructure (kelemahan di infrastruktur), lack of knowledge and vision (kelemahan dalam pengetahuan dan visi), serta lack of commitment (kelemahan dalam berkomitmen). Lack of infrastructure tersebut terutama dalam hal aturan main yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Banyak UU kita yang masih ambigu. Padahal, inti otonomi tersebut kan desentralisasi. Itu justru tidak diatur dalam aturan yang jelas. Akibatnya, di satu sisi, otonomi daerah bisa dipandang sebagai sebuah kesempatan bagi daerah untuk mereguk manfaat dari segala potensi yang ada di daerahnya.

Tentunya ini terjadai akibat lemahnya lack of knowledge and vision. Masih banyak pemkot/pemkab yang salah kaprah mengartikan otonomi daerah. Itu tak lain dikarenakan kurangnya pengetahuan dan belum ada kesatuan visi yang mestinya dimiliki penyelenggara otonomi daerah di level daerah itu sendiri. Kedua variabel tersebut masih ditambah dengan variabel ketiga. Yakni, lemahnya komitmen (lack of commitment) baik dari pemerintah pusat maupun dari pemkot/pemkab untuk melaksanakan otonomi daerah. variabel lemahnya komitmen bisa dibenahi ---walaupun agak sulit. Satu-satunya jalan, harus ada semacam gerakan dari bawah, untuk membentuk mekanisme corporate government system. Sebuah mekanisme pengawasan langsung oleh rakyat. Artinya, rakyat, sebagai konstituen yang memilih langsung wakil-wakilnya, bisa meminta penjelasan dari wakilnya, kapan pun diperlukan. Mekanisme tersebut mampu memaksa agar legislatif dan eksekutif takut kepada rakyat. Seperti yang ada di Amerika Serikat. Sebenarnya, kita mulai ada gerakan seperti itu, dengan adanya sistem pemilihan sistem distrik yang proporsional dalam pemilu kemarin. Namun, yang terpenting, masyarakat harus lebih berinisiatif mengawasi jalannya pemerintahan di masing-masing wilayahnya.

Berbagai pembenahan dalam bias pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, tentunya tidak lepas dari efektif tidaknya kontrol legislatif. Politisi yang duduk di lembaga legislatif tentunya harus juga mempunyai komitmen, untuk mengawal jalannya penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien, sehingga bias-bias yang muncul berkurang. Legislatif juga harus menjamin, terlaksananya roda pemerintahan dan pembangunan yang terbebas dari persoalan-persoalan manipulasi kepentingan rakyat. Mungkinkah? Kita tunggu saja....

0 komentar: