Rabu, 24 Juni 2009

Kisah Perajin ‘Duta Gerabah’ Banten

Sentra Gerabah Bumi Jaya

Siapa sangka, bila perkampungan yang tidak jauh dari pusat pemerintahan Provinsi Banten itu, ternyata menyimpan asset yang sangat berharga. Tangan-tangan terampil terus saja berkarya, mengolah tanah jadi keramik, bak sebuah tradisi leluhur kerajinan gerabah Panjunan.

Gerabah bumijaya, Ciruas Serang pernah mengalami puncak keemasan sekitar tahun 1990-an, jauh sebelum kepemimpinan Orde Baru jatuh. Saat itu, bukan sesuatu yang aneh, jika beberapa warga desa setiap bulannya selalu pulang pergi ke pulau Bali, sekedar memenuhi order gerabah pesanan langsung wisatawan manca, apalagi nilai tukar rupiah terhadap dolar masih bisa dibanggakan. Kalau pun di Bali mereka hanya menumpang di gerai-gerai punya orang, namun sedikitnya telah mampu merubah gaya hidup.

Perubahan memang selalu membawa dampak positif maupun negatip. Itu pula yang dialami ratusan perajin gerabah di Bumijaya, Serang. merosotnya nilai tukar rupiah membuat bisnis gerabah mengalami kelesuan. Karena saat itu, wisatawan manca mulai hengkang dari bumi pertiwi akibat, tidak menentunya situasi politik dalam negeri.

Tidak itu saja, dalam penuturan salah seorang maestro gerabah bumijaya, Tair, Pemerintah Kabupaten Serang, mengeluar­kan kebijakan, yang melarang perajin Gera­bah Bumijaya membawa tanah mereka ke Bali, kecuali dalam bentuk jadi (gerabah, red).

Sebelumnya, perajin gerabah Bumijaya memang tidak jarang membawa bahan mentah dari kampungnya dan dibuat barang jadi di Bali. Kebijakan itu, tentu saja dengan pertimbangan untuk meningkatkan daya saing produk lokal.

Namun cara seperti itu, ternyata sangat efektif dan murah. Perajin bisa menghindari pecahnya gerabah akibat benturan selama pengangkutan dari Serang menuju Bali, ongkosnya pun lebih murah. “Sejak kebi­jakan tersebut ada, kami dihadapkan pada mahalnya biaya. Apalagi membawa barang yang sudah jadi (gerabah) selalu saja ada yang pecah. Jelas kan, kami mengalami kerugian,” ungkapnya.

Walau dihadapkan pada masalah tersebut, ratusan tangan-tangan terampil terus saja berkarya, memenuhi pesanan juragan gerabah di pulau dewata. Seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional kala itu, masa keemasan gerabah Bumija­ya akhirnya mengalami kemunduran. Bali kini, dimata perajin Bumijaya, tak lebih sebuah kisah hidup sekaligus sebuah pelipur lara bagi anak cucu.

Banjir order yang sempat mampir dalam kehidupan warga ‘desa gerabah’ itu, kini seperti mimpi di siang bolong. Walau demikian, aktivitas perajin terus saja berjalan. Mereka rela berbasah keringat, walaupun kurang sebanding dengan rupiah yang didapat.

Tair misalnya, pria gaek ini yang dulu menjadi komandan ‘pasukan gerabah’ Bumijaya di Bali, kini hanya membuat gerabah bila ada pesanan saja. Kalau lagi kosong, ia hanya memandangi puluhan karyanya, yang berjejer di ruang belakang rumah, sekaligus sebagai workshop, tempatnya membuat gerabah.

Berbeda dengannya, tidak sedikit warga Bumijaya lainnya harus menerima kenya­­­­ta­­an pahit, terjerat dalam sistem ijon. Mereka membuat kerajinan dari tanah liat tersebut, setelah sebelumnya dipinjami uang oleh salah seorang juragan. Tentu saja, mereka mempunyai kewajiban men­jual karyanya tersebut, kepada yang bersangkutan.

Akibat lebih jauh, karya yang dihasilkan sedikitpun tidak bisa memberi­kan nilai lebih. “Ya… mau gimana lagi. Kita terima saja apa adanya,” tutur beberapa perajin suatu ketika.

Guna mengembalikan kejayaan gerabah Bumijaya, gerakan koperasi yang nyata, menjadi sebuah pilihan dan menjadi katup penyelamat. Namun demikian, dalam prakteknya masih menemui kesulitan. Faktornya, tentu saja masih lemahnya wawasan masyarakat akan pentingnya koperasi.

Betulkah demikian? Tentunya tidak semua berpendapat demikian. Para alumni pulau dewata tersebut, ada yang mendiri­kan koperasi dengan jumlah anggotanya kini lebih dari 50 orang perajin. Namun demikian, dalam perjalanannya masih senang di jalur lambat. Tidak sedikit dari anggota koperasi yang mau bergabung menjadi anggota dengan harapan mendapat bantuan dari pemerintah.

Memang semasa Menteri Koperasi Ali Marwan Hanan, Koperasi Warga Bumijaya yang dikomandoi Ta’ir dan Bedi, dibawah dampingan BDS LeMPER, sempat meng­­­aju­­kan bantuan permodalan lewat program Modal Awal dan Padanan (MAP). Namun, demikian bantuan yang diharapkan tak kunjung terealisir.

Kegigihan seorang Ta’ir, memang sudah teruji. Tidak lolos dalam program MAP, ia terus melakukan konsultasi dengan peng­­urus BDS LeMPER. Tentu saja, tidak dipungut bayaran. Melalui koperasi Warga Bumijya, para perajin terus saja mencari alternatif permodalan.

Ter­akhir, sesuai dengan kesepakatan pengurus, mereka mengajukan bantuan ke Bukopin. Akankah nasib baik berpihak? Hanya waktu yang menjawab. Yang jelas, gerabah Bumijaya pernah menjadi duta Banten, mela­lui karya emas putra desa yang tergolong minus.(ozi)

0 komentar: