Identifikasi Potensi BDS-P
Sampai tahun 2005 khususnya di Indonesia, perlu menjadi pemahaman bersama bahwa pada realitasnya BDS Provider yang bergerak dalam usaha mikro dapat dipastikan masih minim. BDS provider yang tumbuh di Indonesia masih terbatas pada lini usaha skala kecil menengah, tak ketinggalan BDS yang ada di Banten
Menurut Ketua LSM Samudera, Nasrullah, kemunculan BDS provider yang tumbuh dan bergerak pada lini usaha kecil menengah (UMK) ini pun sebenarnya diembrioni dari adanya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan atau juga lembaga-lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan yang mencoba memberikan berbagai layanan pelatihan tentang teknologi produksi maupun manajemen.
“Jadi sebenarnya, yang selama ini juga mempunyai sejumlah masyarakat dampingan pada lini usaha kecil menengah adalah lembaga-lembaga semacam di atas, misalnya lembaga pendidikan menejemen, sekolah tinggi tata boga dan beberapa lembaga pendidikan lainya yang memiliki berbagai keahlian tehnis,” ujarnya.
Demikian juga dengan persoalan dana operasional BDS, masih banyak bergantung pada lembaga lain, entah lembaga donor maupun pemerintah. Ketika lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan tersebut menjual jasanya pada usaha kecil menengah, sebenarnya juga masih disupport oleh lembaga donor atau pemerintah dalam rangka mengembangkan dan memperkuat UMKM. “Maka yang terjadi di sini sebenarnya, UMKM juga belum murni seratus persen menggunakan jasanya dalam artian terjadi suatu transaksi atas jasa-jasa berkait dengan kebutuhan pengembangan usaha UMKM,” tegasnya.
Menyoroti kondisi yang terjadi di lapangan, maka dalam pelaksanaan program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang hendak digarap oleh BDS fasilitator, menurut Bambang DS, terkait erat dengan upaya indentifikasi potensi dan pengorganisasian BDS Provider.
“Pertimbangan terpenting adalah mengetahui animo atau tingkat ketertarikan BDS Provider terhadap isu-isu yang akan dikembangkan dalam program. Yang menjadi target sebenarnya adalah menangkap seberapa jauh tanggapan BDS provider untuk meyakini konsep-konsep sekaligus konsekuensi terhadap upaya pengembangan pasar BDS di usaha mikro,” ujarnya.
Melakukan interaksi bisnis pada lini usaha mikro, pada kenyataannya akan jauh lebih susah dibandingkan di lini usaha kecil menengah. Karenanya, kemampuan BDS provider dalam melakukan penilaian pasar, cara promosi sampai pada aktivitas pengelola BDS ketika bersinggungan dengan usaha mikro, sangat menentukan sekali. Celakanya, masih banyak BDS yang bermunculan di Banten, masih miskin yang berkemampuan untuk memahami seberapa besar potensi pengembangan usaha kelompok yang menjadi dampingannya.
Untuk menjadikan BDS Provider lebih kuat dalam mengidentifikasi perilaku kelompok usaha mikro yang menjadi dampingannya, maka pengelola BDS harus mengetahui berbagai kebutuhan yang diperlukan dalam melakukan kegiatan lapangan. Misalnya penilaian pasar, teknik promosi, masalah harga dan beberapa yang berkait dengan kebutuhan pengembangan pasar BDS di usaha mikro.
Mengenai bentuk bentuk kegiatan untuk mengidentifikasi potensi BDS Provider, menurut Kasi UKM pada Subdin UKM-Kop Dinas Perindagkop Banten Khaerul Saleh, bisa dilakukan melalui workshop, seminar atau bentuk-bentuk kegiatan lainnya yang dipandang efektif dan bisa secara maksimal mencapai target yang diinginkan. “Perlu diperhatikan dalam hal ini, jangan terlalu berani menyatakan bahwa program intervensi akan melibatkan sekian jumlah BDS Provider jika belum secara jelas dan mampu mengidentifikasi keberadaan BDS provider,” tegasnya.
Dikatakan, yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan program-program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro adalah menentukan siapa yang akan menjadi sasaran program. Artinya kita harus bersepakat usaha mikro macam apa yang akan menjadi sasaran program, sektor apa yang akan menjadi bidang garap. Hal ini harus telah dirumuskan dan diperjelas sejak awal baik berkait dengan tolok ukur maupun definisinya. Kemudian tentang alasan-alasan mengapa harus usaha mikro sebagai sasaran program.
“Hal ini perlu dikemukakan karena kelak berkait dengan makna subtansi atas komitmen dan keberpihakan. Sejak awal hal tersebut juga harus dipahamkan dan menjadi pemahaman bagi BDS Provider sebagai fasilitator lapang dalam konteks program,” lanjut pria yang kini dipercaya menjadi Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Serang,.
Namun demikian salah tafsir terhadap pemahaman usaha mikro selalu saja terjadi.
Karenanya Bambang DS, menyarankan agar tidak salah tafsir atau salah pemahaman terhadap usaha mikro, maka pemahaman metodologi penelitian menjadi penting adanya, karena memahami usaha mikro tidak boleh terbatas pada data-data pustaka, baik yang disajikan oleh dinas-dinas perindustrian dan perdagangan atau juga hasil-hasil penelitian dari kalangan akademisi yang lebih cenderung bersifat kuatitatif dan sering tidak sesuai dengan realitas lapang yang sesungguhnya.
“Oleh sebab itu, pada tahap awal BDS Fasilitator harus pula melakukan indentifikasi berbagai masalah dan kebutuhan berkait upaya pengembangan usaha mikro secara partisipatif. Artinya, bagaimana upaya identivikasi ini, minimalnya harus melibatkan usaha mikro secara intens, sehingga akan tergambar berbagai kendala, peluang sekaligus tehnik dan usulan pemecahan masalah yang ditawarkan secara langsung oleh usaha mikro itu sendiri,” ujarnya.
Dalam konteks program intervensi inilah, pada akhirnya BDS Fasilitator pun tidak lagi membutuhkan tenaga yang akan berfungsi dan memerankan sebagai fasilitator lapang, karena secara otomatis kelak dilakukan oleh BDS Provider.
Lapangan Kerja
Kenyataan lapang bahwa BDS Provider di Indonesia yang bergerak dan menjual jasa-jasanya pada lini usaha mikro bisa dikatakan tidak ada sama sekali, yang pada giliranya cukup sulit untuk mengidentifikasi keberadaanya, menjadi satu problem tersendiri dalam konteks pelaksanaan program intervensi.
Sebuah tawaran solutif dicetuskan Bambang DS, bahwa sejalan dengan konsep BDS yang salah satunya juga mengharapkan tercipta dan tumbuhnya lembaga-lembaga usaha baru yang mampu menyediakan BDS, maka dalam proses indentifikasi dan proses sosialisasi program yang dilakukan oleh BDS Fasilitator, dalam pendapat Bambang, hendaknya bisa membuka ruang sosialisasi secara luas, dalam artian sedapat mungkin dapat mengundang berbagai kalangan yang memiliki komitmen dan kemauan untuk bergerak dalam usaha di sektor ini.
Sebut saja beberapa elemen potensial yang bisa diharapkan dapat terlibat dalam hal ini adalah; individu-individu dari kalangan akademisi dari berbagai macam displin ilmu, utamanya lulusan dari perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan. Dari sini sebenarnya, bertujuan untuk membuka peluang usaha baru yang tampaknya sampai saat sekarang belum banyak digeluti masyarakat. “Hanya masalahnya, dari kalangan masyarakat ini belum banyak mendapatkan berbagai pengetahuan yang erat kaitanya dengan metode atau tehnik penilaian pasar BDS di usaha mikro. Maka konsekwensi logisnya, perlu secara maksimal BDS Fasilitator memberikan berbagai bentuk kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan bagi mereka berkait dengan penilaian pasar BDS,” papar Bambang.
Ketika pemerintah telah mampu melakukan indentifikasi potensi, kemampuan dan kekurangan sekaligus mengetahui secara pasti profil dan keberdaan BDS provider, maka salah satu hal yang juga mutlak dipertimbangkan dalam desain program intervensi pasar BDS di usaha mikro adalah, cara mentrasfer metodologi partisipatif kepada BDS Provider sebagai keyakinan dalam melakukan aktivitas penilaian pasar dalam sebuah pelatihan. Kemudian melakukan uji coba atau praktek langsung tehnik-tehnik penilaian pasar secara partisipatif pada saat pelatihan.
Disamping itu juga perlu dipertegas dan disepakati secara jelas, tentang peran dan fungsi Pemerintah, BDS Provider sekaligus keberadaan usaha mikro di lapangan dalam sebuah konteks program pengembangan pasar BDS. Hal ini sebenarnya menghendaki adanya kemauan BDS Provider baik secara in clas maupun out class.
Bagaimana dengan kiprah BDS yang ada di Banten? Nampaknya, peningkatan pemampuan BDS tidak saja dilakukan di awal, namun juga dilakukan pada saat BDS provider menjalankan program dalam bentuk kegiatan monitoring dan pendampingan yang dilakukan secara partisipatif. Tentu saja pelaksanaannya butuh waktu dan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendekatan non partisipatif.
Sampai tahun 2005 khususnya di Indonesia, perlu menjadi pemahaman bersama bahwa pada realitasnya BDS Provider yang bergerak dalam usaha mikro dapat dipastikan masih minim. BDS provider yang tumbuh di Indonesia masih terbatas pada lini usaha skala kecil menengah, tak ketinggalan BDS yang ada di Banten
Menurut Ketua LSM Samudera, Nasrullah, kemunculan BDS provider yang tumbuh dan bergerak pada lini usaha kecil menengah (UMK) ini pun sebenarnya diembrioni dari adanya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan atau juga lembaga-lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan yang mencoba memberikan berbagai layanan pelatihan tentang teknologi produksi maupun manajemen.
“Jadi sebenarnya, yang selama ini juga mempunyai sejumlah masyarakat dampingan pada lini usaha kecil menengah adalah lembaga-lembaga semacam di atas, misalnya lembaga pendidikan menejemen, sekolah tinggi tata boga dan beberapa lembaga pendidikan lainya yang memiliki berbagai keahlian tehnis,” ujarnya.
Demikian juga dengan persoalan dana operasional BDS, masih banyak bergantung pada lembaga lain, entah lembaga donor maupun pemerintah. Ketika lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan tersebut menjual jasanya pada usaha kecil menengah, sebenarnya juga masih disupport oleh lembaga donor atau pemerintah dalam rangka mengembangkan dan memperkuat UMKM. “Maka yang terjadi di sini sebenarnya, UMKM juga belum murni seratus persen menggunakan jasanya dalam artian terjadi suatu transaksi atas jasa-jasa berkait dengan kebutuhan pengembangan usaha UMKM,” tegasnya.
Menyoroti kondisi yang terjadi di lapangan, maka dalam pelaksanaan program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang hendak digarap oleh BDS fasilitator, menurut Bambang DS, terkait erat dengan upaya indentifikasi potensi dan pengorganisasian BDS Provider.
“Pertimbangan terpenting adalah mengetahui animo atau tingkat ketertarikan BDS Provider terhadap isu-isu yang akan dikembangkan dalam program. Yang menjadi target sebenarnya adalah menangkap seberapa jauh tanggapan BDS provider untuk meyakini konsep-konsep sekaligus konsekuensi terhadap upaya pengembangan pasar BDS di usaha mikro,” ujarnya.
Melakukan interaksi bisnis pada lini usaha mikro, pada kenyataannya akan jauh lebih susah dibandingkan di lini usaha kecil menengah. Karenanya, kemampuan BDS provider dalam melakukan penilaian pasar, cara promosi sampai pada aktivitas pengelola BDS ketika bersinggungan dengan usaha mikro, sangat menentukan sekali. Celakanya, masih banyak BDS yang bermunculan di Banten, masih miskin yang berkemampuan untuk memahami seberapa besar potensi pengembangan usaha kelompok yang menjadi dampingannya.
Untuk menjadikan BDS Provider lebih kuat dalam mengidentifikasi perilaku kelompok usaha mikro yang menjadi dampingannya, maka pengelola BDS harus mengetahui berbagai kebutuhan yang diperlukan dalam melakukan kegiatan lapangan. Misalnya penilaian pasar, teknik promosi, masalah harga dan beberapa yang berkait dengan kebutuhan pengembangan pasar BDS di usaha mikro.
Mengenai bentuk bentuk kegiatan untuk mengidentifikasi potensi BDS Provider, menurut Kasi UKM pada Subdin UKM-Kop Dinas Perindagkop Banten Khaerul Saleh, bisa dilakukan melalui workshop, seminar atau bentuk-bentuk kegiatan lainnya yang dipandang efektif dan bisa secara maksimal mencapai target yang diinginkan. “Perlu diperhatikan dalam hal ini, jangan terlalu berani menyatakan bahwa program intervensi akan melibatkan sekian jumlah BDS Provider jika belum secara jelas dan mampu mengidentifikasi keberadaan BDS provider,” tegasnya.
Dikatakan, yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan program-program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro adalah menentukan siapa yang akan menjadi sasaran program. Artinya kita harus bersepakat usaha mikro macam apa yang akan menjadi sasaran program, sektor apa yang akan menjadi bidang garap. Hal ini harus telah dirumuskan dan diperjelas sejak awal baik berkait dengan tolok ukur maupun definisinya. Kemudian tentang alasan-alasan mengapa harus usaha mikro sebagai sasaran program.
“Hal ini perlu dikemukakan karena kelak berkait dengan makna subtansi atas komitmen dan keberpihakan. Sejak awal hal tersebut juga harus dipahamkan dan menjadi pemahaman bagi BDS Provider sebagai fasilitator lapang dalam konteks program,” lanjut pria yang kini dipercaya menjadi Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Serang,.
Namun demikian salah tafsir terhadap pemahaman usaha mikro selalu saja terjadi.
Karenanya Bambang DS, menyarankan agar tidak salah tafsir atau salah pemahaman terhadap usaha mikro, maka pemahaman metodologi penelitian menjadi penting adanya, karena memahami usaha mikro tidak boleh terbatas pada data-data pustaka, baik yang disajikan oleh dinas-dinas perindustrian dan perdagangan atau juga hasil-hasil penelitian dari kalangan akademisi yang lebih cenderung bersifat kuatitatif dan sering tidak sesuai dengan realitas lapang yang sesungguhnya.
“Oleh sebab itu, pada tahap awal BDS Fasilitator harus pula melakukan indentifikasi berbagai masalah dan kebutuhan berkait upaya pengembangan usaha mikro secara partisipatif. Artinya, bagaimana upaya identivikasi ini, minimalnya harus melibatkan usaha mikro secara intens, sehingga akan tergambar berbagai kendala, peluang sekaligus tehnik dan usulan pemecahan masalah yang ditawarkan secara langsung oleh usaha mikro itu sendiri,” ujarnya.
Dalam konteks program intervensi inilah, pada akhirnya BDS Fasilitator pun tidak lagi membutuhkan tenaga yang akan berfungsi dan memerankan sebagai fasilitator lapang, karena secara otomatis kelak dilakukan oleh BDS Provider.
Lapangan Kerja
Kenyataan lapang bahwa BDS Provider di Indonesia yang bergerak dan menjual jasa-jasanya pada lini usaha mikro bisa dikatakan tidak ada sama sekali, yang pada giliranya cukup sulit untuk mengidentifikasi keberadaanya, menjadi satu problem tersendiri dalam konteks pelaksanaan program intervensi.
Sebuah tawaran solutif dicetuskan Bambang DS, bahwa sejalan dengan konsep BDS yang salah satunya juga mengharapkan tercipta dan tumbuhnya lembaga-lembaga usaha baru yang mampu menyediakan BDS, maka dalam proses indentifikasi dan proses sosialisasi program yang dilakukan oleh BDS Fasilitator, dalam pendapat Bambang, hendaknya bisa membuka ruang sosialisasi secara luas, dalam artian sedapat mungkin dapat mengundang berbagai kalangan yang memiliki komitmen dan kemauan untuk bergerak dalam usaha di sektor ini.
Sebut saja beberapa elemen potensial yang bisa diharapkan dapat terlibat dalam hal ini adalah; individu-individu dari kalangan akademisi dari berbagai macam displin ilmu, utamanya lulusan dari perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan. Dari sini sebenarnya, bertujuan untuk membuka peluang usaha baru yang tampaknya sampai saat sekarang belum banyak digeluti masyarakat. “Hanya masalahnya, dari kalangan masyarakat ini belum banyak mendapatkan berbagai pengetahuan yang erat kaitanya dengan metode atau tehnik penilaian pasar BDS di usaha mikro. Maka konsekwensi logisnya, perlu secara maksimal BDS Fasilitator memberikan berbagai bentuk kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan bagi mereka berkait dengan penilaian pasar BDS,” papar Bambang.
Ketika pemerintah telah mampu melakukan indentifikasi potensi, kemampuan dan kekurangan sekaligus mengetahui secara pasti profil dan keberdaan BDS provider, maka salah satu hal yang juga mutlak dipertimbangkan dalam desain program intervensi pasar BDS di usaha mikro adalah, cara mentrasfer metodologi partisipatif kepada BDS Provider sebagai keyakinan dalam melakukan aktivitas penilaian pasar dalam sebuah pelatihan. Kemudian melakukan uji coba atau praktek langsung tehnik-tehnik penilaian pasar secara partisipatif pada saat pelatihan.
Disamping itu juga perlu dipertegas dan disepakati secara jelas, tentang peran dan fungsi Pemerintah, BDS Provider sekaligus keberadaan usaha mikro di lapangan dalam sebuah konteks program pengembangan pasar BDS. Hal ini sebenarnya menghendaki adanya kemauan BDS Provider baik secara in clas maupun out class.
Bagaimana dengan kiprah BDS yang ada di Banten? Nampaknya, peningkatan pemampuan BDS tidak saja dilakukan di awal, namun juga dilakukan pada saat BDS provider menjalankan program dalam bentuk kegiatan monitoring dan pendampingan yang dilakukan secara partisipatif. Tentu saja pelaksanaannya butuh waktu dan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendekatan non partisipatif.
0 komentar:
Posting Komentar