Jumat, 26 Juni 2009

Quo Vadis BDS Banten _3

Identifikasi Potensi BDS-P
Sampai tahun 2005 khususnya di Indonesia, perlu menjadi pemahaman bersama bahwa pada realitasnya BDS Provider yang bergerak dalam usaha mikro dapat dipastikan masih minim. BDS provider yang tumbuh di Indonesia masih terbatas pada lini usaha skala kecil menengah, tak ketinggalan BDS yang ada di Banten

Menurut Ketua LSM Samudera, Nasrullah, kemunculan BDS provider yang tumbuh dan bergerak pada lini usaha kecil menengah (UMK) ini pun sebenarnya diembrioni dari adanya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan atau juga lembaga-lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan yang mencoba memberikan berbagai layanan pelatihan tentang teknologi produksi maupun manajemen.

“Jadi sebenarnya, yang selama ini juga mempunyai sejumlah masyarakat dampingan pada lini usaha kecil mene­ngah adalah lembaga-lembaga sema­cam di atas, misalnya lembaga pen­didikan menejemen, sekolah tinggi tata boga dan beberapa lembaga pendidikan lainya yang memiliki berbagai ke­ahlian tehnis,” ujarnya.

Demikian juga dengan persoalan dana operasional BDS, masih banyak bergantung pada lembaga lain, entah lembaga donor maupun pemerintah. Ketika lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan tersebut menjual jasanya pada usaha kecil menengah, sebenarnya juga masih disupport oleh lembaga donor atau pemerintah dalam rangka mengembangkan dan memper­kuat UMKM. “Maka yang terjadi di sini sebenarnya, UMKM juga belum murni seratus persen menggunakan jasanya dalam artian terjadi suatu transaksi atas jasa-jasa berkait dengan kebutuhan pengembangan usaha UMKM,” tegasnya.

Menyoroti kondisi yang terjadi di lapangan, maka dalam pelaksanaan program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang hendak digarap oleh BDS fasilitator, menurut Bambang DS, terkait erat dengan upaya indentifikasi potensi dan pengor­ganisasian BDS Provider.

“Pertimbangan terpenting adalah menge­tahui animo atau tingkat keter­tarikan BDS Provider terhadap isu-isu yang akan dikembangkan dalam program. Yang menjadi target sebenarnya adalah menangkap seberapa jauh tang­gapan BDS provider untuk meyakini konsep-konsep sekaligus konsekuensi terhadap upaya pengembangan pasar BDS di usaha mikro,” ujarnya.

Melakukan interaksi bisnis pada lini usaha mikro, pada kenyataannya akan jauh lebih susah dibandingkan di lini usaha kecil menengah. Karenanya, kemampuan BDS provider dalam mela­kukan penilaian pasar, cara promosi sampai pada aktivitas pengelola BDS ketika bersinggungan dengan usaha mik­ro, sangat menentukan sekali. Cela­kanya, masih banyak BDS yang ber­munculan di Banten, masih miskin yang berkemampuan untuk memahami sebe­rapa besar potensi pengembangan usaha kelompok yang menjadi dam­ping­annya.

Untuk menjadikan BDS Provider lebih kuat dalam mengidentifikasi perilaku kelompok usaha mikro yang menjadi dampingannya, maka penge­lola BDS harus mengetahui berbagai kebutuhan yang diperlukan dalam mela­kukan kegiatan lapangan. Misal­nya penilaian pasar, teknik promosi, masalah harga dan beberapa yang berkait dengan kebutuhan pengem­bangan pasar BDS di usaha mikro.

Mengenai bentuk bentuk kegiatan untuk mengidentifikasi potensi BDS Provider, menurut Kasi UKM pada Subdin UKM-Kop Dinas Perindagkop Banten Khaerul Saleh, bisa dilakukan melalui workshop, seminar atau ben­tuk-bentuk kegiatan lainnya yang di­pan­dang efektif dan bisa secara mak­simal mencapai target yang di­inginkan. “Perlu diperhatikan dalam hal ini, ja­ngan terlalu berani menya­takan bahwa program intervensi akan melibatkan sekian jumlah BDS Provider jika belum secara jelas dan mampu meng­identifi­kasi keberadaan BDS provider,” tegasnya.

Dikatakan, yang tidak kalah penting­nya dalam melakukan program-program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro adalah menentukan siapa yang akan menjadi sasaran program. Artinya kita harus bersepakat usaha mikro macam apa yang akan men­jadi sasaran program, sektor apa yang akan menjadi bidang garap. Hal ini harus telah dirumuskan dan diper­je­las sejak awal baik berkait dengan tolok ukur maupun definisinya. Kemu­di­an tentang alasan-alasan mengapa harus usaha mikro sebagai sasaran program.

“Hal ini perlu dikemukakan karena kelak berkait dengan makna subtansi atas komitmen dan keberpihakan. Sejak awal hal tersebut juga harus dipaham­kan dan menjadi pemahaman bagi BDS Provider sebagai fasilitator lapang dalam konteks program,” lanjut pria yang kini dipercaya menjadi Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Serang,.
Namun demikian salah tafsir ter­hadap pemahaman usaha mikro selalu saja terjadi.

Karenanya Bambang DS, menyarankan agar tidak salah tafsir atau salah pemahaman terhadap usaha mikro, maka pemahaman metodologi penelitian menjadi penting adanya, karena memahami usaha mikro tidak boleh terbatas pada data-data pustaka, baik yang disajikan oleh dinas-dinas perindustrian dan perdagangan atau juga hasil-hasil penelitian dari kalangan akademisi yang lebih cenderung ber­sifat kuatitatif dan sering tidak sesuai dengan realitas lapang yang sesung­guhnya.

“Oleh sebab itu, pada tahap awal BDS Fasilitator harus pula melakukan in­dentifikasi berbagai masalah dan kebu­tuhan berkait upaya pengembangan usaha mikro secara partisipatif. Ar­ti­nya, bagaimana upaya identivikasi ini, minimalnya harus melibatkan usaha mikro secara intens, sehingga akan ter­gambar berbagai kendala, peluang seka­ligus tehnik dan usulan pemecahan ma­sa­lah yang ditawarkan secara langsung oleh usaha mikro itu sendiri,” ujarnya.

Dalam konteks program intervensi inilah, pada akhirnya BDS Fasilitator pun tidak lagi membutuhkan tenaga yang akan berfungsi dan memerankan sebagai fasilitator lapang, karena secara otomatis kelak dilakukan oleh BDS Provider.

Lapangan Kerja
Kenyataan lapang bahwa BDS Provider di Indonesia yang bergerak dan menjual jasa-jasanya pada lini usaha mikro bisa dikatakan tidak ada sama sekali, yang pada giliranya cukup sulit untuk mengidentifikasi keberadaanya, menjadi satu problem tersendiri dalam konteks pelaksanaan program inter­vensi.

Sebuah tawaran solutif dicetuskan Bambang DS, bahwa sejalan dengan konsep BDS yang salah satunya juga mengharapkan tercipta dan tumbuh­nya lembaga-lembaga usaha baru yang mampu menyediakan BDS, maka dalam proses indentifikasi dan proses sosiali­sasi program yang dilakukan oleh BDS Fasilitator, dalam pendapat Bambang, hendaknya bisa membuka ruang so­siali­sasi secara luas, dalam artian sedapat mungkin dapat mengundang berbagai kalangan yang memiliki komitmen dan kemauan untuk ber­gerak dalam usaha di sektor ini.

Sebut saja beberapa elemen poten­sial yang bisa diharapkan dapat terlibat dalam hal ini adalah; individu-individu dari kalangan akademisi dari berbagai macam displin ilmu, utamanya lulusan dari perguruan tinggi yang belum men­dapatkan pekerjaan. Dari sini sebe­narnya, bertujuan untuk membuka peluang usaha baru yang tampaknya sampai saat sekarang belum banyak digeluti masyarakat. “Hanya masalah­nya, dari kalangan masyarakat ini be­lum banyak mendapatkan berbagai pengetahuan yang erat kaitanya dengan metode atau tehnik penilaian pasar BDS di usaha mikro. Maka konsekwensi logisnya, perlu secara maksimal BDS Fasilitator memberikan berbagai ben­tuk kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan bagi mereka berkait dengan penilaian pasar BDS,” papar Bambang.

Ketika pemerintah telah mampu mela­kukan indentifikasi potensi, ke­mam­puan dan kekurangan sekaligus mengetahui secara pasti profil dan keberdaan BDS provider, maka salah satu hal yang juga mutlak dipertim­bangkan dalam desain program inter­vensi pasar BDS di usaha mikro adalah, cara mentrasfer metodologi partisi­patif kepada BDS Provider sebagai keyakinan dalam melakukan aktivitas penilaian pasar dalam sebuah pela­tihan. Kemu­dian melakukan uji coba atau praktek langsung tehnik-teh­nik pe­nilaian pasar secara partisipatif pa­da saat pelatihan.

Disamping itu juga perlu dipertegas dan disepakati secara jelas, tentang peran dan fungsi Pemerintah, BDS Provider sekaligus keberadaan usaha mik­ro di lapangan dalam sebuah konteks program pengembangan pasar BDS. Hal ini sebenarnya menghendaki adanya kemauan BDS Provider baik secara in clas maupun out class.

Bagaimana dengan kiprah BDS yang ada di Banten? Nampaknya, pening­katan pemampuan BDS tidak saja dila­kukan di awal, namun juga dilakukan pada saat BDS provider menjalankan program dalam bentuk kegiatan monitoring dan pendampingan yang dila­kukan secara partisipatif. Tentu saja pelaksanaannya butuh waktu dan biaya yang lebih tinggi jika diban­dingkan dengan pendekatan non par­tisipatif.

0 komentar: