Rabu, 24 Juni 2009

LKM Syari’ah, Solusi Terbebas dari Riba

Sejak awal 1990-an mulai tumbuh dan berkembang lembaga keuangan mikro (LKM) yang menjalankan kegiatan usaha simpan pinjam dengan prinsip syariah. LKM syariah tersebut sebagian masih belum berbadan hukum, umumnya berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat. Namun terdapat pula LKM Syariah yang sudah berbadan hukum koperasi. Nama yang populer digunakan oleh LKM syariah tersebut adalah BMT, singkatan dari Baitul Maal wat Tamwil dari bahasa Arab yang berarti lembaga dana dan pembiayaan.

Lahirnya LKM syariah ini, didasarkan atas pandangan sebagian masyarakat, khususnya dari masyarakat Islam, yang melarang perbuatan riba. Usaha simpan pinjam yang menerapkan imbalan berupa bunga dipandang termasuk perbuatan riba. Kegiatan bisnis yang sesuai dengan sya­ri­ah adalah yang menerapkan system bagi hasil.

PP No 9/1995 sebenarnya telah meng­antisipasi kemungkinan usaha simpan pinjam yang beroperasi dengan prinsip syariah tersebut, yaitu dengan dimungkinkannya usaha simpan pinjam oleh koperasi menerapkan imbalan dengan sistem bagi hasil. Oleh sebab itu, tidak ada halangan bagi warga masyarakat untuk mendirikan KSP syariah atau meng­gunakan nama Koperasi BMT.

Ketentuan Dasar
Ada dua hal ketentuan dasar dalam operasional KSP Syariah yang membeda­kan­nya dengan KSP non Syariah (konven­sional), yaitu:
  1. Menerapkan sistem imbalan bagi hasil (profit sharing), baik untuk simpanan dan tabungan angota maupun untuk pinjaman atau pembiayaan yang disa­lur­kan kepada anggota. Sistem imbalan bagi hasil ini, adalah penerapan dari ajaran Islam yang melarang setiap transaksi yang mengandung unsur riba. Jika pada KSP konvesional menerapkan imbalan bunga yang persentase nominalnya ditetapkan di depan, pada KSP Syariah, besar imbalan ditetapkan sesuai dengan perolehan riil bagi hasil KSP Syariah dari berbagai usaha anggota yang biayanya dengan berbagai skema pembiayaan.
  2. Menanggung resiko secara bersama. Kalau pada KSP Konvensional menerap­kan bahwa resiko dalam menjalankan usaha berada pada anggota, dan tidak ikut menanggung kerugian jika usahanya merugi, maka pada KSP Syariah menerapkan hal yang sebalik­nya. KSP Syariah ikut menanggung dan berbagi kerugian dengan anggotanya yang usahanya mengalami kerugian, secara proporsional.
Operasionalisasi?
Tidak ada perbedaan mendasar antara KSP syariah dengan KSP non syariah (konvensional) dalam kegiatan mobilisasi dana. Seluruh sumber permodalan pada KSP syariah sama persis dengan KSP konvesional, seperti modal sendiri (simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan dan hibah), modal pinjaman dan modal penyertaan. Yang membedakannya hanyalah, dalam sistem imbalan terhadap tabungan dan simpanan berjangka, yaitu menerapkan sistem bagi hasil. Dalam hal ini, imbalan terhadap simpanan dan tabungan yang ditetapkan sebelumnya, tetapi berdasarkan perolehan bagi hasil KSP Syariah yang kemudian dibagi secara proporsional dengan jumlah simpanan atau tabungan anggota.

Jenis Pembiayaan
Ada dua jenis pembiayaan utama yang berlaku di KSP syariah atau BMT, yaitu pertama: pembiayaan bagi hasil (profit sharing) dan kedua; pembiayan jual-beli (sale and purchase).

Pembiyaan dengan pola bagi hasil ini digunakan untuk membantu memecahkan kekurangan modal kerja dan investasi yang dihadapi anggota dalam kegiatan usaha yang mereka jalankan. Dalam hal ini ada 2 pola bagi hasil, yaitu:
  1. Pembiayaan Mudharabah, adalah dari pembiayaan dari KSP syariah terhadap seluruh (100%) kebutuhan modal kerja yang secara rill dibutuhkan oleh peminjam dalam menjalankan usahanya. KSP syariah dalam hal ini disebut sebagai ‘shahibul maal’, sedangkan peminjam disebut sebagai ‘mudharib’. Peran dari peminjam hanya sebatas tenaga dan keahlian saja, sehingga resiko nominal seluruhnya ditanggung oleh KSP Syariah. Dengan pengertian ini, berarti seluruh kebutuhan investasi dan modal kerja disediakan oleh KSP syariah. Dengan skema ini, apabila proyek yang dibiayai mengalami kerugian, maka KSP syariah menanggung rugi nominal sedangkan mudharib tidak memperoleh apapun.
  2. Pembiayaan Musyarakah, pada skema pembiayaan ini, KSP syariah hanya mempunyai sebagian saja dari kebutuhan modal usaha bagi peminjam. Bisa hanya 40% nya, bisa 50% dari kebutuhan atau mungkin lebih. Bagi hasil dari pembiayaan ini adalah proporsional sebanyak modal yang dilibatkan oleh KSP Syariah terhadap usaha tersebut.
Pola jual-beli
Pembiayaan dengan pola jual beli digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya ter­uta­ma untuk mendapatkan sarana kerja atau peralatan produksi untuk pengem­bang­­an kegiatan usaha yang mereka jalankan. Dalam hal ini juga ada 2 pola bagi hasil, yaitu:
  1. Pembiayaan Murabah, Pengertian pembiayaan muharabah adalah, pem­biayaan oleh KSP syariah pada barang dengan harga pokok, kemudian disepakati nilai tambahnya dan kemudian dibayar oleh peminjam kepada BMT pada saat jatuh tempo, pada tanggal dan bulan yang disepakati dalam perjanjian.
  2. Pembiayaan al Bai’ Bitsaman ‘Ajil (BBA), pembiayaan dengan pola jual beli, selain dengan skema Murabahah, dapat pula skema al Bai’ Bitsaman ‘Ajil (BBA), yakni pembiayaan atas pembelian pokok suatu barang, ditambah dengan marjin yang disepakati dan kemudian dibayar secara cicilan (angsuran). Perbedaan antara Al Murabahah dengan BBA terletak pada cara pembayarannya. Pada Murabahah, pembayaran dilaku­kan secara sekaligus, sedangkan pada BBA dilakukan secara angsuran atau cicilan.(OZI)

0 komentar: