Minggu, 21 Juni 2009

Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) dan ‘Avalis’ UKM di Banten

Oleh: H E R Taufik
(Staf Pengajar FE. Untirta dan Ketua STIE Banten)


Seperti halnya permasalahan Usaha kecil menengah (UKM) secara nasional, juga di Banten, diantaranya kesulitan pengajuan kredit yang sesuai dengan kebutuhan UKM. Sementara itu, perbankan mengalami keterbatasan untuk melayani UKM dalam jangkauan yang lebih luas. Disamping optimalisasi penyaluran kredit ke UKM terjadi kesenjangan antara skala kredit yang akan disalurkan dan kemampuan UKM untuk memenuhi skala ekonomis yang ditetapkan bank.
Adapun karakteristik permasalahan UKM di Banten, yang menonjol adalah keterbatasan syarat formal pinjaman ke bank, misalnya pemenuhan beberapa perizinan yang seringkali terbentur oleh masalah birokrasi; serta UKM yang tidak mendapatkan informasi lengkap tentang skim kredit perbankan yang sesuai dengan usahanya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih lemahnya kualitas SDM, serta tidak terdapatnya suatu pelatihan bagi para pengusaha kecil menengah.
Tentu saja hal tersebut berdampak pada loan to deposit ratio (LDR) atau rasio pinjaman dan simpanan rata-rata bank yang berkisar 40% hingga 50%. Artinya, penyaluran dana oleh perbankan ke UKM belum dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, daya serap kredit sektor UKM (2003) masih rendah karena dari sekitar Rp 42,3 triliun plafon kredit baru terserap Rp 26,9 triliun atau sekitar 64%. Kondisi ini pula yang menyebabkan iklim usaha yang belum kondusif bagi UKM. Kondusifitas ini selanjutnya berdampak kepada minimnya akses pelayanan dari lembaga penyedia jasa pengembangan usaha dan peningkatan produksi dan kualitasnya.
Dari permasalahan mendasar di atas, pertanyaan yang paling mendasar selanjutnya adalah mampukah UKM di Indonesia, khususnya UKM di Banten mampu bersaing di pasar global? Pertanyaan ini sebenarnya telah diuji secara empirik dalam badai krisis pada tahun 1997 yang memorak-porandakan roda perekonomian bangsa Indonesia. Berbagai sektor usaha dan perdagangan dibuat tidak menentu, bahkan tidak sedikit yang sampai jatuh gulung tikar.

Dampaknyapun masih terasa sampai sekarang, dan kondisinya masih belum dapat dipulihkan sepenuhnya. Dan hanya UKM yang mampu bertahan dibandingkan sektor lainnya. Hal itu disebabkan UKM tidak tergantung pada bahan baku impor yang harganya melambung di saat nilai kurs rupiah melemah. Akibatnya, UKM tetap bertahan karena menggunakan bahan baku lokal yang harganya relatif stabil. Ini adalah sebuah potensi, betapa peluang ke depan sebenarnya mampu diraih oleh UKM di tingkat global. Dengan potensinya yang cukup prosfektif, sebetulnya UKM mesti mendapat perhatian agar UKM mampu menjadi penopang bagi pemulihan perekonomian nasional; yang artinya berperan dalam perekonomian nasional dalam tingkat global.

Akan tetapi, sektor UKM belum sepenuhnya mendapat perhatian dan pemikiran kita bersama. Jika saja hal ini terus terjadi, maka potensi UKM yang belum berkembang secara optimal dewasa ini tidak dapat menjamin ia akan mampu bertahan menghadapi era globalisasi dan di berlakukannya WTO 2010 yang akan datang. Jadi diperlukan suatu persiapan yang tepat dan cepat menyongsong era pasar bebas yang semakin dekat tersebut. UKM harus dapat didorong dan berbagai kelemahan yang dimilikinya harus dapat diatasi supaya mampu bersaing dan tidak jatuh terlindas oleh kompetitor dari negara luar.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa dari dari segi kualitas (ujian saat krisis ekonomi) UKM telah siap untuk menghadapi masa tersebut. Namun, dengan masih banyaknya kelemahan yang dimilikinya, cukup menghambat dalam perkembangan UKM, seperti lemahnya manajemen usaha yang dimilikinya, yang menyebabkan sistem manajemennya tidak proporsional. Masih jarang UKM yang melakukan analisis bagi usahanya sehingga mulai dari rencana kerja (business plan) sampai ke sistem evaluasi kinerja usaha yang dibuat secara tertulis dan resmi tidak dimiliki.
Dana dan Lembaga Penjamin UKMDi tingkat permasalahan pendanaan, UKM dihadapkan kepada kendala prosedur yang harus dilewatinya, juga terdapatnya beban biaya bunga yang relatif tinggi. Selain itu, masalah klasik yang sering kita dengar dalam hal pendanaan dari bank adalah masalah kolateral atau jaminan. Di sini pihak bank dihadapkan pada posisi yang cukup sulit, di mana di satu sisi ia harus mampu menjadi penyandang dana bagi sektor yang cukup prosfektif ini, sedangkan di sisi lain ia harus mampu menjalankan prinsip frudential bank atau kehati-hatian bank dalam pengelolaan dananya.

Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya suatu lembaga penjamin pendanaan bagi sektor kecil menengah di daerah-daerah. Meskipun pemerintah pada tahun 1971 telah mendirikan Badan Penjamin Kredit, yang sekarang bernama Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU), keberadaannya masih eksklusif dan kurang terbuka sehingga baru dinikmati oleh sekelompok kecil pengusaha tertentu saja.

Selain itu, keterbatasan dan kurangnya pembinaan dan pendampingan dari pihak permerintah dan lembaga (instansi) terkait lainnya menyebabkan UKM sulit berkembang secara maksimal. Begitu pula dengan adanya keterbatasan informasi pemasaran, yang menyebabkan sulitnya UKM untuk memperluas pemasaran produk yang dihasilkannya. Mencermati masalah ini, sebetulnya menuntut peran serta pemerintah serta lembaga terkait lainnya, seperti lembaga perbankan, Deperindag, Departemen Koperasi dan UKM, serta pemda setempat, sangat diperlukan bagi perkembangan UKM. Seperti pihak perbankan yang dapat memberikan pembinaan mengenai sistem dan manajemen keuangan yang harus dilakukan UKM, Deperindag membantu menyediakan informasi pemasaran, baik domestik maupun impor. Departemen Koperasi dan UKM pun membina mengenai struktur usaha yang harus diterapkan. Lalu, pihak pemda berlaku sebagai penyedia sarana infrastruktur untuk mendukung dan menjamin kelancaran usahanya.

Meskipun dihadapkan pada berbagai permasalahan tersebut di atas, masih terdapat hal yang cukup menguntungkan dari UKM, yaitu terdapatnya keluwesan dalam pemasaran produk yang disesuaikan dengan jenis pasar yaitu lokal, domestik, atau ekspor. Pemilihan pasar disesuaikan dengan jenis, kualitas, dan harga produk yang dihasilkannya. Akibatnya, pemilihan pasar domestik yang besar akan menjadi peluang bagi UKM untuk menjadi pemasok barang, jasa, dan informasi yang mampu bersaing dengan produsen luar negeri.
Melihat peranan UKM yang cukup signifikan dalam perekonomian negara kita, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan pemulihan sistem ekonomi, sektor ini harus mendapat perhatian khusus, dengan menyegerakan keberadaan Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) sebagai supplement institution system diyakini penting dan strategis dalam program pemberdayaan sektor usaha kecil dan menengah di Indonesia. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman beberapa negara yang sukses membangkitkan struktur perekonomiannya yang berbasis UKM. Menyadari kenyataan belum optimalnya peranan LPK tersebut, diperlukan dukungan semua pihak, baik pemerintah termasuk Pemerintah daerah, kalangan perbankan, pengusaha, dan mereka yan peduli terhadap UKM.

Saat ini, memang akan segera dibentuk lembaga penjamin untuk usaha kecil dan menengah di daerah-daerah dalam kerangka Mengembalikan Peran UKM Sebagai Pilar Ekonomi Nasional. Syarat terbentuknya lembaga penjamin ini harus mempunyai modal minimal Rp 10 miliar untuk meningkatkan kelayakan kredit usaha kecil dan menengah.

Bagaimana dengan LPK di Banten? Seperti yang tengah diajukan oleh Komisi B DPRD Provinsi Banten, dengan usul inisiatifnya untuk membentuk LPK Daerah bagi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah: LPK Daerah Banten dimaksudkan sebagai lembaga penjamin kredit yang berbentuk perseroan terbatas, didirikan oleh Pemerintah Daerah dengan dukungan pendanaan dari pihak lainnya untuk menjalankan fungsi dukungan bagi UKM di Banten.
Dalam kerangka menyikapi usulan Komisi B DPRD Provinsi Banten tersebut, ada baiknya LPK yang hendak didirikan di uji terlebih dahulu rasionalitas, objektifitas dan kebenaran dari tujuan dan fungsi keberadaan LPK tersebut. Mengingat karakteristik, tipologi masyarakat Banten yang khas, ada baiknya LPK di Banten juga mengembangkan mekanisme "avalis" (penjamin kredit). Mekanisme avalis sebenarnya bukan hal yang asing. Biasanya dipakai jika seorang calon debitur kekurangan kolateral, dengan mengajukan seorang penjamin yang dianggap kredibel oleh bank tersebut, untuk menutupi kekurangan jaminannya tersebut.
Menurutnya pola-pola serupa sangat memungkinkan untuk dikembangkan, karena diyakininya banyak tokoh yang kredibel yang bisa dipercaya bank untuk menjadi avalis. Selain itu, lembaga-lembaga atau organisasi semacam Kadin (Kamar Dagang dan Industri) asosisasi pengusaha, juga bisa bertindak sebagai avalis.
Di masa depan, pemimpin sebuah organisasi, harus disyaratkan mampu menjadi seorang avalis. Sehingga selain dipastikan dia seorang yang dapat dipercaya, juga dipastikan mampu membantu anggota-nya dalam mengakses pendanaan. Untuk semua itu dibutuhkan kemauan dari berbagai pihak. Baik dari lembaga atau tokoh yang layak jadi avalis, maupun dari kalangan perbankan dalam memberikan kesempatan untuk mengembangkan cara ini.

Mekanisme avalis ini guna mengantisipasi berbagai kelemahan Lembaga Penjamin Kredit dalam hal efektifitasnya, mengingat SDM pengelolanya belum tentu memahami permasalahan yang berlangsung.

1 komentar:

Job mengatakan...

yah kang,,,bupati pandeglang korup,menjual koperasi fiktif kepada pemerintah,usaha yangbersifat komersial menuju global dibanten belum ada,khasanah budaya banten seperti sate bandeng dan uli kesenangan sultan banten juga sulit dikembangkan,penebangan hutan terjadi dimana mana ,penyedotan pasir dari laut atau darat merusak ekosystem,jalan jalan pada rusak ,apabila dilaporkan selalu berbenturan dengan pusat(jakarta)inimah jalan kuasa pusat,inimah jalan kuasa pemda,itu alasan pemda bila berkomentar masalah pemb,jalan,LPK,Bank jabar mana pungsinya setahu saya hanya dikucurkan kepada pegawai yang punya SK.seperti guru dll.