Sabtu, 27 Juni 2009

Manusia Vs ‘Binatang Manusia’

Entah mengapa kita sebagai manusia, yang dituntut cerdas menggunakan akal pikiran terkadang harus terjebak dalam nafsu serakah, ingin selalu menguasai segala apa yang dianugerahkan Yang Maha Pencipta. Nafsu ingin menguasai itu pula, yang menjadikan nilai-nilai kearifan warisan leluhur, dengan sekejap kita rontokan. Naluri ke-binatang-an kita yang terkadang liar itu, dikombinasikan dengan naluri ke-malaikat-an yang tidak punya nafsu, menjadikan kita yang sedang berkuasa seolah bisa melakukan apa saja.

Nafsu serakah yang tak terbendung itu pula, menjadikan manusia teralienasi dari rasa kemanusiaannya. Sebagai yang manusia yang diberi nikmat menjadi penguasa, tidak jarang yang lengah bahkan tergelincir ke depan gerbang penjara. Apa sebab? Keserakahan pula yang melatarinya. Hukum-hukum yang kita buat, disepakati, ditegakkan, dengan sekejap bisa di’atur’ oleh mereka yang sedang berkuasa.

Keserakahan yang kita punyai, tak jarang membutakan nurani kejujuran yang sejak kita lahir miliki. Kita yang ‘dimabuk kekuasaan’ banyak yang lupa dengan yang ‘dimabuk kemiskinan’. Pemabuk kekuasaan selalu bangga dengan gunung emas ‘harta rakyat’ ---yang berhasil dikumpulkan. Masa bodo rakyat jelata, yang penting bagi pemabuk kekuasaan adalah pribadi dan kroninya sejahtera.

Keserakahan yang kita punya, telah banyak menafikan nilai-nilai akhlak dan moralitas sebuah bangsa. Sekedar menolak dan mendukung RUU APP saja, tokoh agama kita harus mengerahkan pasukannya. Sombong memang kita ini. Tak seharusnya, pro kontra soal APP menjadikan bangsa ini terkoyak dalam dua kubu, yang cenderung memberikan pelajaran buruk bagi generasi esok hari. Soal perbedaan pendapat sejatinya merupakan rahmat dari Yang Maha Kuasa, namun saat umat dihadapkan pada perbedaan sudut pandang perlunya RUU APP, kenapa harus saling ancam dan usir. Budaya siapakah itu? Jawabannya sudah jelas, budaya jahiliyah yang menafikan nilai-nilai keberagaman.

Keserakahan yang kita miliki, seolah menjustifikasi gagasan Homo Homini Lupus. Bagaimana tidak, pada sebuah kesempatan kita yang ‘berkuasa’ tidak jarang berbicara mengumbar orasi layaknya ulama yang alim nan mumpuni. Namun pada lain kesempatan kita mau-maunya dibenturkan dalam pola pikir rebutan bantuan. Padahal kita pula yang selalu mengajarkan al yadul ‘ulya khairu min al yadu sufla (tangan diatas, lebih baik daripada tangan yang dibawah). Betul-betul saat ini, keserakahan menyeret kita ke lembah kegoyahan jiwa yang mandiri dan berdedikasi, punya harkat dan martabat. Kita seolah ingin selalu mentereng dan gagah.

Keserakahan yang kita ‘isme’kan, sungguh telah menyeret dalam budaya ‘harus’, instan dan pragmatis. Nilai-nilai idealis dasar intelektual, banyak diantara kita yang telah membuangnya. Kita seolah menjadi paling idealis saat belum menampuk kekuasaan atau duduk dalam ‘kabinet bayangan’. Idealisme dengan mudahnya kita campakkan, karena sang tuan yang telah mendudukan dan memberi posisi ‘terhormat’ meminta kita untuk mendukung ide dan gagasan serakahnya.

Keserakahan yang kita pelihara, telah membawa kita pada kondisi saling curiga. Kita dihadapkan pada sikap ‘jangan-jangan’. Curiga bagi kita sejatinya sebuah sikap waspada, yang menjadikan alat kontrol bagi diri sendiri, lingkungan sosial, dan pemerintahan. Yang harus kita tepis tentunya, curiga yang melahirkan ‘budaya mencurigai’, atau singkatnya curiga yang over dosis.

Keserakahan yang kita jadikan ‘jimat’, menyeret kita pada sikap menafikan potensi sesama manusia, yang punya pendapat dan pilihan-pilihan berbeda. Kita selalu ingin orang-orang berpikiran sama dengan misi kekuasaan kita. Bila perlu, orang lain tak boleh punya kesempatan ‘berkuasa’ dan ‘memimpin’. Semua lini dan sektor dikuasai demi melanggengkan kekuasan. Lantas apa bedanya ‘kerajaan’ yang kita bangun dengan ‘kerajaan’ gerombolan singa dan macan yang menerapkan ‘animal law’.

Keserakahan yang kita bangun, telah menciptakan ‘bangunan’ tempat bersarangnya penghembus-penghembus yang mengajak pada kemaksiatan dan virus ke-dosa-an lainnya. ‘Bangunan serakah’ yang kita ciptakan telah membuat kepunahan lingkungan sekitar. Benteng-benteng yang menjadi pertahanan bangunan itu, tak lebih sebuah simbol ke-naif-an kita sebagai makhluq yang dikendalikan sang Khaliq.

Keserakahan memang harus kita hentikan. Bila tidak, itu sama dengan kita membuat kedekatan dengan kepunahan budaya berbasis kemanusiaan. Karena keserakahan dari moyangnya memang bangunan budaya yang berbasis kebinatangan. Manusia atau binatang kah kita? Atau binatang yang berwujud manusia? wallahu ‘alam bis shawab. (Saeroji, pubhlished by Tabloid Banten Ekspose, Volume 6/Nomor 18/Juni 2006)

0 komentar: