Jumat, 26 Juni 2009

Quo Vadis BDS Banten_1

Bag-1

Terlepas dari sejauh mana tingkat keberhasilan konsep Business Development Servicess (BDS) sebagai model atau pendekatan dalam program intervensi untuk pengembangan usaha kecil selama ini, yang pasti konsep BDS bermula dari sebuah refleksi dan keyakinan baru atas kegagalan berbagai program yang dijalankan baik oleh pemerintah, bank dunia, atau pihak lain seperti Non Government Organization (NGO) dan lembaga donor untuk pengentasan kemiskinan melalui penciptaan dan pengembangan usaha secara signifikan membuahkan hasil, terutama di Banten.

SEJUMLAH realitas lapang ditemukan bahwa beberapa program yang diluncurkan di tengah-tengah masyarakat tidak mampu menyelesaikan masalah berkait dengan upaya pengenasan problem kemiskinan. Mengapa demikian? Menurut Direktur Asosiasi Bisnis Koperasi Usaha Kecil dan menengah (ASBIKUM), Khairul Umam, diakibatkan program-program pengentasan kemiskinan yang berkait dengan penciptaan dan pengembangan usaha, yang mestinya harus melalui pende¬katan kewirausahaan atau pendekatan bisnis, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Yang terjadi, program-program yang dijalankan malahan bersifat hibah murni dan lebih mengedepankan pendekatan sosial, sehingga usaha mikro atau kelompok marginal tidak terdorong dan mampu dirangsang untuk berpikir dengan pola dan pendekatan bisnis,” ujar mantan pengajar di Akademi Maritim Guna Nusa Cilegon.

Ia juga menyayangkan berbagai macam pelatihan yang dilakukan tidak berpijak dari kebutuhan pengusaha melainkan hanya keinginan lembaga pelaksana proyek, dan secara metodologis jadwal atau konsep pelatihan yang dirancang lebih bersifat seremonial dan berisi parade ceramah, dan tidak jarang hanya berangkat dari niatan pemerataan uang proyek.

“Atas dasar kondisi inilah kemudian konsep BDS diyakini dan dikembangkan di Indonesia. Walaupun nyatanya, hal ini tidak begitu saja menuai hasil seperti yang diharapkan. Masih banyak berbagai problem dasar yang menyebabkan konsep pendekatan ini tidak maksimal terimplementasi dalam program-program yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun NGO,” lanjutnya.

Sementara Bambang D Suseno, dosen dan peneliti pada PIKSI INPUT Serang, menyatakan bahwa pada kisaran tahun 2001, tatkala konsep BDS ini mulai masuk di Indonesia, pada saat yang sama sebenarnya terjadi adanya pertentangan batin dengan keyakinan atau konsep yang tengah dipegang di kalangan aktivis NGO atau pemerintah sendiri.

Hal ini terjadi, urainya, lebih dikarenakan baik kalangan NGO maupun pemerintah dalam melakukan berbagai program masih menggunakan pola-pola karikatif atau pendekatan sosial di dalam pengembangan usaha mikro. Di samping itu ada juga keyakinan bahwa tidak mungkin pengusaha mikro yang notabene hanya bermodalkan keterampilan dapat membeli jasa-jasa yang ditawarkan BDS provider.

“Sadar atau tidak, setuju atau tidak, bahwa keberadaan BDS Provider adalah bagian dari pasar bebas, sementara waktu usaha mikro kecil menengah (UMKM) merupakan perwujudan dari realitas kemiskinan dan ketidakmampuan usahawan untuk bersaing dengan pasar bebas itu sendiri,” paparnya.

Pertentangan ini, nampaknya, mewujud pada pergeseran-pergeseran terhadap konsep BDS yang tidak diterapkan sebagaimana aslinya. Bahwa kemudian, seluruh program-program yang dikembangkan NGO atau lembaga donor yang mempunyai adaptasi ke Indonesia, begitu juga pemerintah, tanpa banyak mempertimbangkan berbagai konsekwensi.

0 komentar: