Yang Untung Dilayani
Bag-2
Konsep BDS sebenarnya telah sedemikian tertata untuk dikembangkan pada usaha mikro atau kecil, dalam implementasinya dikemudian hari diperhalus menjadi konsep yang agak berlainan, seperti BDC atau pusat pengembangan usaha. Celakanya, ternyata program dengan konsep tersebut, pada akhirnya tidak lagi menyentuh usaha mikro, dengan kata lain tidak tepat sasaran. Di lain sisi ketika konsep BDS ini masuk di Indonesia, dapat dikatakan bahwa semua pihak yang mestinya terkait dalam upaya pengembangan dan penguatan usaha mikro (NGO dan Pemerintah) tampak angkat tangan untuk menyentuh dan memilih usaha mikro sebagai sasaran program dalam konsep BDS.
Pada umumnya, baik NGO maupun pemerintah lebih memilih pada wilayah usaha menengah-kecil yang dianggap sukses dalam menjalankan usahanya dan relatif memiliki kemampuan bayar dalam konteks pengembangan jasa layanan bisnis, tidak seperti halnya di usaha mikro yang dipandang jauh dari kemampuan sekaligus kemauan bayar. Problem inilah yang dalam pendapat Bambang DS, mesti dilacak jawabannya yakni bagaimana arah dan keberpihakan konsep ini akan tetap berada pada lini usaha mikro, bukan yang lainya. “Dengan demikian pengentasan kemiskinan melalui pendekatan bisnis betul-betul terealisasi,” urainya lebih lanjut.
Bercermin pada persoalan di atas, menurut Bambang DS, yang mesti dilakukan adalah bagaimana dapat merancang suatu desain kegiatan program dengan konsep BDS agar tetap berjalan pada rel yang diharapkan oleh konsep BDS pada awalnya, yakni berpihak pada pengembangan usaha mikro. Oleh karenanya, perlu ada upaya sejak awal bahwa kegiatan penilaian pasar BDS dalam usaha mikro sudah melibatkan BDS provider.
Pelibatan itu sendiri dalam pandangan Bambang, perlu mendudukan peran dan fungsi antara BDS provider, usaha mikro dan BDS Fasilitator pada porsi dan wilayah yang berlainan namun senantiasa berkaitan. Usaha mikro sebagai sasaran program, BDS provider sebagai fasilitator lapang dan konsultan usaha mikro, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai BDS fasilitator yang memerankan program-program intervensi tumbuhnya pasar BDS di usaha mikro.
Sementara itu, pemerhati UMKM Banten, Bandi Subandi menyatakan, konsep pengembangan BDS seperti itu mensyaratkan adanya metodologi yang bersifat partisipatif.
Dalam paparan Bandi, metodologi ini mengandung langkah-langkah bahwa pertama, BDS fasilitator melakukan menilaian dan pemetaan berbagai masalah berkait dengan pengembangan pasar di usaha mikro. Kedua, melakukan penilaian hasil-hasil pemetaan masalah berkait dengan pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang dilakukan oleh BDS fasilitator (Pemerintah) bersama-sama dengan BDS provider. Ketiga, merencanakan, menyusun dan melakukan berbagai kegiatan lapang secara bersamaan antara BDS fasilitator (pemerintah) dan BDS Provider. Keempat, BDS provider melakukan penawaran jasa untuk penguatan usaha mikro sekaligus memberikan peluang dan mengumpulkan sejumlah umpan balik dari kliennya secara partisipatif.
Bag-2
Konsep BDS sebenarnya telah sedemikian tertata untuk dikembangkan pada usaha mikro atau kecil, dalam implementasinya dikemudian hari diperhalus menjadi konsep yang agak berlainan, seperti BDC atau pusat pengembangan usaha. Celakanya, ternyata program dengan konsep tersebut, pada akhirnya tidak lagi menyentuh usaha mikro, dengan kata lain tidak tepat sasaran. Di lain sisi ketika konsep BDS ini masuk di Indonesia, dapat dikatakan bahwa semua pihak yang mestinya terkait dalam upaya pengembangan dan penguatan usaha mikro (NGO dan Pemerintah) tampak angkat tangan untuk menyentuh dan memilih usaha mikro sebagai sasaran program dalam konsep BDS.
Pada umumnya, baik NGO maupun pemerintah lebih memilih pada wilayah usaha menengah-kecil yang dianggap sukses dalam menjalankan usahanya dan relatif memiliki kemampuan bayar dalam konteks pengembangan jasa layanan bisnis, tidak seperti halnya di usaha mikro yang dipandang jauh dari kemampuan sekaligus kemauan bayar. Problem inilah yang dalam pendapat Bambang DS, mesti dilacak jawabannya yakni bagaimana arah dan keberpihakan konsep ini akan tetap berada pada lini usaha mikro, bukan yang lainya. “Dengan demikian pengentasan kemiskinan melalui pendekatan bisnis betul-betul terealisasi,” urainya lebih lanjut.
Bercermin pada persoalan di atas, menurut Bambang DS, yang mesti dilakukan adalah bagaimana dapat merancang suatu desain kegiatan program dengan konsep BDS agar tetap berjalan pada rel yang diharapkan oleh konsep BDS pada awalnya, yakni berpihak pada pengembangan usaha mikro. Oleh karenanya, perlu ada upaya sejak awal bahwa kegiatan penilaian pasar BDS dalam usaha mikro sudah melibatkan BDS provider.
Pelibatan itu sendiri dalam pandangan Bambang, perlu mendudukan peran dan fungsi antara BDS provider, usaha mikro dan BDS Fasilitator pada porsi dan wilayah yang berlainan namun senantiasa berkaitan. Usaha mikro sebagai sasaran program, BDS provider sebagai fasilitator lapang dan konsultan usaha mikro, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai BDS fasilitator yang memerankan program-program intervensi tumbuhnya pasar BDS di usaha mikro.
Sementara itu, pemerhati UMKM Banten, Bandi Subandi menyatakan, konsep pengembangan BDS seperti itu mensyaratkan adanya metodologi yang bersifat partisipatif.
Dalam paparan Bandi, metodologi ini mengandung langkah-langkah bahwa pertama, BDS fasilitator melakukan menilaian dan pemetaan berbagai masalah berkait dengan pengembangan pasar di usaha mikro. Kedua, melakukan penilaian hasil-hasil pemetaan masalah berkait dengan pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang dilakukan oleh BDS fasilitator (Pemerintah) bersama-sama dengan BDS provider. Ketiga, merencanakan, menyusun dan melakukan berbagai kegiatan lapang secara bersamaan antara BDS fasilitator (pemerintah) dan BDS Provider. Keempat, BDS provider melakukan penawaran jasa untuk penguatan usaha mikro sekaligus memberikan peluang dan mengumpulkan sejumlah umpan balik dari kliennya secara partisipatif.
0 komentar:
Posting Komentar