Senin, 22 Juni 2009

Otonomisasi dan Kemandirian Koperasi


Oleh: Kamim Rohener
Pemred Tabloid Grahita

Konsepsi pembangunan koperasi selama orde baru yang membagi pembinaan dalam pembangunan koperasi kedalam tiga tahapan, pada hakikatnya adalah cukup baik, tetapi pola pembinaan yang demikian di satu sisi telah membuka celah bagi ekspansi pihak luar dalam pengambilan keputusan di koperasi.

Sedangkan di sisi lain, secara langsung maupun tidak langsung proses pembangunan koperasi dipengaruhi berbagai kepentingan yang tidak sejalan dengan kondisi tahapan pembangunan koperasi yang direncanakan.
Akibatnya, kondisi dan keberhasilan pembangunan koperasi sama dengan kondisi dan keberhasilan pembangunan sektoral yang dikaitkan dengan pembangunan Koperasi. Hal yang demikian sangat tidak relevan dengan tujuan dan cita-cita pembangunan koperasi. Seperti misalnya, keberhasilan pembangunan koperasi yang berorientasi pada program swasembada beras, adalah sama dengan keberhasilan program itu sendiri, sedangkan pengembangan peran koperasi dalam dunia perberasan tidak berkembang seperti yang terlihat bahwa eksistensi koperasi untuk terlibat dalam pemasaran beras, yang bukan untuk pengadaan stok nasional hanya berkisar antara 3,2 sampai dengan 5,2 %.

Dengan perkataan lain, koperasi melalui pola pembinaan masa itu belum diarahkan untuk bekerja secara efisien, sehingga tidak memiliki daya saing yang mampu mengangkatnya sejajar dengan perusahaan swasta (yang umumnya para pengusaha menengah).

Adanya anggapan bahwa pertumbuhan koperasi merupakan teka-teki dalam pembangunan juga sulit dimengerti, karena sesungguhnya peubah-peubah pembangunan koperasi dan indikator keberhasilannya baik mengacu pada teori-teori ekonomi maupun konsep normatif sudah cukup jelas.

Penyebab adanya kesenjangan dalam pembangunan dan ketertinggalan pertumbuhan koperasi dibandingkan sektor individual dan sektor negara juga cukup jelas, yaitu karena peubah lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh orientasi pembangunan ekonomi (mengejar pertumbuhan melalui industrialisasi yang padat modal dan merupakan upaya optimalisasi potensi SDM, secara tidak mempersiapkan sistem kelembagaan yang efisien), adalah tidak kondusif bagi pembangunan koperasi. Lebih celaka lagi, karena otonomisasi atau yang pada waktu itu diorientasikan pada satu sisi keberhasilan koperasi yang bersifat kuantitatif.

Dengan belajar dari pengalaman masa lalu dan memahami kondisi saat ini serta prediksi ke depan, maka telaahan yang lebih obyektif dan komprehensif mungkin dapat memberikan jalan keluar bagi upaya mempercepat pengembangan peran koperasi dalam sistem perekonomian nasional, yang merupakan indikator terwujudnya demokrasi di bidang ekonomi.

Otonomisasi KoperasiSecara diartikan sebagai upaya untuk menjadikan koperasi sebagai badan usaha ekonomi independen yang dapat mengambil keputusan sendiri dalam berusaha sejauh tidak bertentangan dengan norma/kaidah kaidah hukum yang berlaku. Pengertian otonomisasi juga diilustrasikan sebagai keterlepasan ikatan antara patron dan client-nya, dalam hubungan patron client leadership. Client dikatakan otonom, bila bisa mengambil keputusan sendiri untuk hidup dan mengembangkan kehidupannya.

Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan, indikator otonomisasi adalah keleluasaan pengambilan keputusan dari berbagai aspek usaha dari sejak perencanaan sampai dengan pendistribusian marjin yang bakal diperoleh.

Dengan demikian otonomisasi memerlukan kesamaan persepsi tentang tujuan arah dan strategi pembangunan koperasi dari semua pihak yang terlibat baik gerakan koperasi, pemerintah sebagai pembina maupun unsur-unsur lainnya dalam sistem perekonomian nasional.

Dari aspek historis keinginan untuk membangun koperasi yang otonom sudah dirintis sejak lama oleh Bung Hatta, tetapi pada masa itu kaitan koperasi dengan dunia politik sulit dipatahkan, sehingga koperasi banyak digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Di era orde baru kebijaksanaan untuk meletakkan kerangka landasan pembangunan pada periode awal pembangunan telah mengilhami keinginan membangun koperasi yang otonom. Untuk itu disusun konsep dan model koperasi yang otonom, yang di sebut dengan KUD model. Kekurangberhasilan pola KUD model kemudian melahirkan pemikiran kebijakasanaan menetapkan kriteria kemandirian koperasi dan melahirkan konsep pembinaan koperasi mandiri. Lahirnya kebijaksanaan tersebut menimbulkan pendebatan antara dua pihak, yaitu yang bersifat optimis dan yang bersikap skeptis.

Pihak pertama kurang mempersoalkan substansi dari pemikiran otonomisasi, sedangkan kelompok kedua mempersoalkan hak otonomisasi. Karena dalam kriteria ini tidak di sebutkan seberapa jauh koperasi yang disebut mandiri, terlepas dari keterkaitannya pada program pemerintah (rasio perbandingan kegiatan program dan non program baik dari aspek jenis usaha volume usaha maupun SHU yang di peroleh). Yang jelas, konsep kemandirian koperasi juga tidak dihitungkan seberapa besar peningkatan daya saing koperasi.

Usaha pembangunan koperasi merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai kendala dan peubah baik internal maupun eksternal koperasi. Oleh sebab itu, untuk membangun koperasi yang otonom, diperlukan pendekatan yang mampu mengatasi berbagai kendala struktural dan juga mampu mengeleminir berbagai peubah ekstrim. Prasyarat tersebut belum terlihat, baik dalam konsep maupun penerapannya dalam pembangunan koperasi, baik dalam koperasi/KUD model maupun dalam konsep koperasi mandiri.

Sebuah kajian menunjukan bahwa bahwa dengan jumlah anggota yang semakin banyak ternyata koperasi belum mampu meningkatkan pelayananya. Anggota yang banyak adakalanya cukup rawan bagi pembangunan koperasi, karena di antara mereka banyak yang belum jelas motivasinya dan pemahamannya tentang koperasi, sehingga cenderung merugikan koperasi.

Jelaslah, bahwa esensi dan pendekatan pembangunan koperasi yang hanya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dari aspek kuantitatif nampak sulit untuk menjadikan koperasi sebagai otonom.(published by Swa_kukm)

0 komentar: