Setelah menempuh perjalanan kurang dari 15 menit, kita bisa sampai di Desa Cibeureum Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeglang. Dari pertigaan jalan lingkar selatan Pandeglang hingga ke lokasi sentra perajin anyaman dari pandan tersebut, terlihat kanan kiri jalan, persawahan yang terbentang dengan percikan air diselokan yang nampak tidak pernah kering, kemarau sekalipun, menambah betah dan seolah menjadi berkah tersendiri bagi Kabupaten Pandeglang.
Adalah mereka yang tinggal tidak jauh dari pusat keramaian kota. Disana tidak kurang dari 300 perajin anyaman pandan terkumpul, menuai rezeki sehari-hari dari hasil anyamannya. Ribuan kodi setiap minggunya selalu mereka hasilkan. Namun demikian, dari sorot mata para perajin yang hampir didominasi kaum ibu dan gadis desa tersebut, nampak, seolah belum bisa berbuat banyak. Ribuan kodi itupun akhirnya menjadi saksi bisu, ketidakberdayaan mayoritas warga desa. Padahal, secara geografis keberadaan sentra anyaman pandan itu, tidak begitu jauuh dari pendopo Kabupaten Pandeglang, dimana penggede pengambil kebijakan selalu beradu komentar: pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Menurut Ketua Koperasi Pasar Cikeper (Kopaci), Edi, aktifitas yang sekarang ini terlihat, sudah berlangsung cukup lama dari sejak jaman penjajahan. Sebuah kewajaran bila masyarakat Desa Cibeureum dan sekitarnya, sudah tidak asing dengan soal anyaman pandan. Disekeliling rumah warga, pasti ada tanaman pandan yang menjadi bahan baku utama.
Tempo dulu, kenang Edi, anyaman pandan sering dipakai sebagai baju keseharian. Itu terjadi zaman Jepang. Kini tentu saja tidak lagi, melainkan menjadi tentengan masyarakat Timur Tengah sebagai pengganti kantung plastik sehabis berbelanja dari supermarket.
Makanya, kini semakin menjadi tidak wajar, ketika hari-hari masyarakat Desa Cibeureum dan sekitarnya hingga keperbatasan Kabupaten Lebak kehidupannya masih dibawah garis kemiskinan. Lukisan yang sangat kontras manakala hasil karya mereka dalam bentuk barang setengah jadi kemudian dikirim ke wilayah Priangan, lalu diolah menjadi barang jadi dan diekspor ke Timur Tengah.
Tanpa disadari, kreatifitas masyarakat Kabupaten Pandeglang tersebut ternyata mempunyai nilai lebih. Apalagi bila dikelola secara maksimal dengan manajemen yang profesional. Buntutnya, bila dikelola dengan baik dengan dukungan penuh dari Pemkab setempat, tidak bisa dipungkiri bakal menghasilkan tambahan pendapatan asli daerah (PAD), dan tentu saja masyarakat perajin terangkat kehidupannya secara ekonomi.
Dari penuturan kaum ibu, anyaman pandan tidak hanya untuk dibuat tas (slipi, red) melainkan berbagai asesoris lainnya. Sebut saja, tas kecil sebagai souvenir khas Pandeglang, topi dan lainnya. Tidaklah aneh bila di sebuah hotel dikawasan pantai Tanjung Lesung, kita mungkin menjumpai seorang wisatawan memakai sandal dengan bahan bakunya dari pandan yang telah dianyam.
Bila saja, pengambil kebijakan dan penggiat wisata lokal mau peduli, hasil kerajinan anyaman pandan ini bisa konsumsi masyarakat wisata yang tersebar dikawasan pantai Tanjung Lesung, Carita hingga Anyer. Semisal saja, untuk sekedar menahan panas, wisatawan dikawasan pantai Carita bisa memakai topi pandan. Selain kesannya alami, juga sangat ramah lingkungan. bahkan bila rusak dan dibuang bisa menambah kesuburan tanah, karena cepat lapuknya dibanding bahan-bahan dari plastik.
Perkembangan produk anyaman pandan sudah sangat meningkat, terkenal dimana-mana. Saatnya untuk serius berpihak ke mereka. Melalui perkuatan manajemen dan seabreg persoalan lain yang selalu melilit mereka.
Seperti halnya sosok Rawiah, wanita yang berusia 85 tahun ini, mengatakan, bahwa dirinya sudah sejak kecil diajari orang tuanya menganyam tikar dari pandan. Namun dalam pengakuannya, belum pernah mendapatkan bantuan modal untuk peningkatan usahanya. Padahal usahanya ini sudah melanglang buana ke seluruh negeri, bahkan mancanegara.
“Ibu mah ti alit ngadamel ieu samak pandan, balajarna ti kolot ibu. Nuhun, ieu tina samak bae ibu tiasa nyakolakeun anak. Upami eta bantuan ti pamarentah tacan pernah aya. Ulah ning bantuan, jalan bae geh sakitu bae, padahal urang hayang maju. (Ibu sejak kecil sudah membuat tikar dari pandan, belajar dari orang rua, dari membuat tikar saja ibu bisa menyekolahkan anak. Jangankan bantuan, jalan saja seperti itu. padahal kita ingin maju),” katanya sambil terus mengerjakan anyaman tikar yang belum kelar.
Suntikan Modal
Melihat dari dekat kehidupan para perajin anyaman pandan di Desa Cibeureum, Banjar, Pandeglang nampak jelas, ekonomi rakyat harus berjalan sedirian. Tidaklah heran, bila masyarakat perajin pandan yang bermodalkan ‘dengkul’ mampu menghidupi keluarganya sehari-hari.
Banyak memang kucuran-kucuran dana untuk membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah. sebut saja program pengembangan Kecamatan (PPK), Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), Kredit Usaha Tani (KUT) dan seabrek bantun modal lainnya. Namun program-program bantuan permodalan yang ditujukan untuk mengcover ekonomi rakyat kecil tersebut ternyata belum menyentuh kehidupan masyarakat Desa Cibeureum.
Masih sumber di Kantor Koperasi Pandeglang, sentra tikar pandan ini merupakan sentra rumahan, artinya lebih dari 300 kepala keluarga membuat tikar pandan itu di rumah masing-masing. Namun untuk pemasarannya mereka mereka mempercayakan pada menejemen koperasi Pasar Cikeper (Kopaci). Koperasi inilah yang selalu melakukan pemasaran produk anyaman berupa barang setengah jadi ke wilayah Tasikmalaya.
“Rata-rata satu orang perajin dalam sehari sanggup menghasilkan tidak kurang dari tujuh helai anyaman. Penghasilan mereka sekarang ini sesuai banyaknya anyaman yang dihasilkan. Namun dalam sebulan tidak kurang dari Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu, dikantongi perajin. Pada kemarau ini kayanya produksi menurun, karena untuk bahan baku saja kadang-kadang mereka harus menempuh jauh ke pesisir pantai,” ungkap sumber tersebut.
Kondisi kesulitan bahan baku saat kemarau dibenarkan pula oleh Ketua Kopaci, Edi. Menurutnya, akibat kemarau berkepanjangan pohon pandan kurang subur. Untuk menanggulanginya mereka mengambil dari kawasan pantai Binuangeun dan Cibaliung. Namun itu tidak menjadi kendala berarti karena sudah ada persetujuan antara pihak Koperasi dengan pengelola perkebunan yang mempunyai pantai dan ditumbuhi pandan berduri.
Faktor permodalan dirasakan Edi, sebuah kendala utama, apalagi bila pesanan melonjak sementara kemampuan keuangan Koperasi untuk membeli hasil anyaman warga desa sangat terbatas. Akibatnya, dalam kondisi tersebut tidak jarang para pengusaha anyaman dari luar daerah terkadang langsung datang kesentra, tentunya dengan modal yang cukup. Bila hal tersebut sudah terjadi pihak Koperasi, menurut Edi, hanya bisa berlapang dada.
Akibat permodalan Koperasi yang terbatas, utamanya untuk membeli hasil kerajinan yang melimpah sesuai dengan permintaan, menjadikan kondisi sentra anyaman pandan di kawasan Desa Cibeureum masih berjalan apa adanya.
“Modal salah satu kendala bagi kita. Sekarang ini untuk menampung semua hasil perajin pandan pun ditampung dan dibeli oleh Koperasi tapi masih bentu uang pribadi pengurus yang sangat terbatas. Dana cadangan Koperasi pun belum seberapa. Tapi kalau modal ada, sepertinya peningkatan produk akan memenuhi kebutuhan konsumen, dan kebutuhan akan anyaman pandan ini sangat besar sekali peminatnya,” jelasnya.
Pasar Terbuka
Tak dinyana, bila selama ini hasil karya warga Pandeglang tersebut banyak bertebaran di bumi Priangan. Bahkan dari sini pula anyaman setengah jadi tersebut diolah kembali untuk di hijrahkan ke Jajirah Arab. Panjang memang, untuk diceritakan. Tapi itulah sebuah realita, ketidakberdayaan ekonomi reakyat di Pandeglang, guna mengangkat harkat martabatnya sendiri. Bila karya tersebut, bisa hijrah ke Jajirah Arabia melalui bumi Priangan, kenapa tidak dari Banten saja?
Selama ini boleh jadi warga Pandeglang sekalipun, ketika di lokasi Pangandaran, Ancol maupun obyek isata yang tersebar di bumi Banten, menyangka topi pandan yang sudah dibentuk sedemikian rupa dihasilkan sepenuhnya oleh perajin-perajin kaki gunung Galunggung. Anggapan tersebut sah-sah saja, terlebih masyarakat Banten dan Pandeglang khususnya, lebih mengenal warga Tasimalaya sebagai wiraswastawan unggul.
Beberapa waktu lalu, kerajinan mereka selalu dipasarkan secara keliling keberbagai pelosok Banten. Selain itu, disana produk anyaman ini bisa didapatkan dengan mudah, mulai dari tikar, tas, topi dan lain sebagainya tersedia disana, sehingga nasib anyaman pandan Cibeureum, seperti tamu di rumah sendiri.
Dari Desa yang masih akrab dengan rumah-rumah sederhana, berdindingkan bilik, cermin sebuah desa yang masih tertinggal setiap minggunnya tidak kurang dari 2 ribu kodi selalu dikirim ke kawasan Tasikmalaya.
Selain ke wilayah Tasikmalaya, anyaman pandan yang berbentuk barang jadi berupa tikar, pernah mangalami masa jaya sewaktu harga cengkeh masih menjadi primadona. Saat itu, kenang Edi, bila membawa kodian tikar di kawasan Lampung tidak harus menunggu lama. Begitu turun dari mobil tikar pandannya langsung diborong. Dikawasan ini tikar pandan dipakai warga untuk menjemur cengkeh dan kopi.
Namun ketika cengkeh tidak lagi menjadi primadona, pemasaran ke ilayah Sumatera tersebut mulai berkurang dan akhirnya dilempar ke wilayah Tasikmalaya, walaupun dengan sistem barang setengah jadi. Tentunya harganyapun tidak mahal, karena belum menjadi produk utuh, topi atau tikar misalnya. Tapi di Tasik inilah barang-barang tersebut menjadi primadona ekspor.
Dalam nalar bisnis, tentunya yang mengambil untung lebih, tidaklah pengusaha-pengusaha Tasik dan Pemerintah Daerahnya sendiri, bisa dibayangkan berapa kjumlah PAD yang tersedot dari sektor ini. Sementara dikampung asalnya Cibeureum, jalannya pun masih belubang-lubang.
Dalam skala harga normal, ungkap Edi, satu kali pengiriman ke Tasikmalaya bisa menghasilkan uang sekitar 160 juta rupiah. Itu pun masih kotor, karena koperasi harus membeli lagi dari para perajin berikut biaya operasional.
Bila dimaksimalkan dengan kondisi modal yang ideal, perputaran uang dikawasan Cikeper, Pandeglang perbulannya bisa mencapai 640 juta rupiah. Itu bila dikelola sepenuhnya di kawasan Pandeglang. Rasionya, satu minggu mereka mampu mengirim hasil anyaman ke Tasikmalaya tidak kurang dari 2 ribu kodi. Perkodinya dihargai 80 ribu rupiah.
Bagaimanapun jua, apa yang diungkapkan Edi, harus menjadi kepedulian semua pihak. Gembar-gembor pemberdayaan Koperasi dan UKM tak lebih sebuah oase ditengah bergelimangnya bantuan.
Keterbatasan akses informasi tidak lantas membuat warga desa harus berjalan sendirian. Mereka perlu sebuah sentuhan berarti. Semakna dengan karya yang telah mereka persembahkan. Seperti halnya sosok Rawiah, di usianya yang senja masih tetap berkarya. Saatnya kita berpihak?
0 komentar:
Posting Komentar