Kamis, 25 Juni 2009

Dibalik Geliat Anyaman Pandan, Perlu Sentuhan Manajemen dan Permodalan

Setelah menempuh perjalanan kurang dari 15 menit, kita bisa sampai di Desa Cibeu­reum Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeg­lang. Dari pertigaan jalan lingkar sela­tan Pandeglang hingga ke lokasi sentra pera­jin anyaman dari pandan tersebut, terlihat ka­nan kiri jalan, persawahan yang terbentang dengan percikan air diselokan yang nampak tidak pernah kering, kemarau sekalipun, menambah betah dan seolah menjadi berkah tersendiri bagi Kabupaten Pandeglang.

Adalah mereka yang tinggal tidak jauh dari pusat keramaian kota. Disana tidak kurang dari 300 perajin anyaman pandan terkumpul, menuai rezeki sehari-hari dari hasil anyam­an­nya. Ribuan kodi setiap minggunya selalu mereka hasilkan. Namun demikian, dari sorot mata para perajin yang hampir didominasi kaum ibu dan gadis desa tersebut, nampak, seolah belum bisa berbuat banyak. Ribuan kodi itupun akhirnya menjadi saksi bisu, ketidakberdayaan mayoritas warga desa. Padahal, secara geografis keberadaan sentra anyaman pandan itu, tidak begitu jauuh dari pendopo Kabupaten Pandeglang, dimana penggede pengambil kebijakan selalu beradu komentar: pemberdayaan ekonomi masya­rakat.

Menurut Ketua Koperasi Pasar Cikeper (Kopaci), Edi, aktifitas yang sekarang ini ter­lihat, sudah berlangsung cukup lama dari sejak jaman penjajahan. Sebuah kewajaran bila masyarakat Desa Cibeureum dan sekitar­nya, sudah tidak asing dengan soal anyaman pandan. Disekeliling rumah warga, pasti ada tanaman pandan yang menjadi bahan baku utama.

Tempo dulu, kenang Edi, anyaman pandan sering dipakai sebagai baju keseharian. Itu terjadi zaman Jepang. Kini tentu saja tidak lagi, melainkan menjadi tentengan masyara­kat Timur Tengah sebagai pengganti kantung plastik sehabis berbelanja dari supermarket.

Makanya, kini semakin menjadi tidak wajar, ketika hari-hari masyarakat Desa Cib­eu­reum dan sekitarnya hingga keperbatasan Kabupaten Lebak kehidupan­nya masih diba­wah garis kemiskinan. Lukisan yang sangat kontras manakala hasil karya mereka dalam bentuk barang setengah jadi kemudian diki­rim ke wilayah Priangan, lalu diolah menjadi barang jadi dan diekspor ke Timur Tengah.

Tanpa disadari, kreatifitas masyarakat Ka­bupaten Pandeglang tersebut ternyata mem­punyai nilai lebih. Apalagi bila dikelola secara maksimal dengan manajemen yang profe­sion­al. Buntutnya, bila dikelola dengan baik dengan dukungan penuh dari Pemkab setem­pat, tidak bisa dipungkiri bakal menghasilkan tambahan pendapatan asli daerah (PAD), dan tentu saja masyarakat perajin terangkat kehidupannya secara ekonomi.

Dari penuturan kaum ibu, anyaman pandan tidak hanya untuk dibuat tas (slipi, red) me­lain­kan berbagai asesoris lainnya. Sebut saja, tas kecil sebagai souvenir khas Pandeg­lang, topi dan lainnya. Tidaklah aneh bila di sebuah hotel dikawasan pantai Tanjung Lesung, kita mungkin menjumpai seorang wisatawan memakai sandal dengan bahan bakunya dari pandan yang telah dianyam.

Bila saja, pengambil kebijakan dan peng­giat wisata lokal mau peduli, hasil kerajinan anyaman pandan ini bisa konsumsi masya­rakat wisata yang tersebar dikawasan pantai Tanjung Lesung, Carita hingga Anyer. Semisal saja, untuk sekedar menahan panas, wisata­wan dikawasan pantai Carita bisa memakai topi pandan. Selain kesannya alami, juga sangat ramah lingkungan. bahkan bila rusak dan dibuang bisa menambah kesuburan tanah, karena cepat lapuknya dibanding bahan-bahan dari plastik.

Perkembangan produk anyaman pandan sudah sangat meningkat, terkenal dimana-mana. Saatnya untuk serius berpihak ke me­re­ka. Melalui perkuatan manajemen dan se­abreg persoalan lain yang selalu melilit mereka.

Seperti halnya sosok Rawiah, wanita yang berusia 85 tahun ini, mengatakan, bahwa diri­nya sudah sejak kecil diajari orang tuanya menganyam tikar dari pandan. Namun dalam pengakuannya, belum pernah mendapatkan bantuan modal untuk peningkatan usahanya. Padahal usahanya ini sudah melanglang buana ke seluruh negeri, bahkan mancane­gara.

Ibu mah ti alit ngadamel ieu samak pan­dan, balajarna ti kolot ibu. Nuhun, ieu tina sa­mak bae ibu tiasa nyakolakeun anak. Upami eta bantuan ti pamarentah tacan pernah aya. Ulah ning bantuan, jalan bae geh sakitu bae, padahal urang hayang maju. (Ibu sejak kecil sudah membuat tikar dari pandan, belajar dari orang rua, dari membuat tikar saja ibu bisa me­nye­­ko­lah­kan anak. Jangankan bantuan, jalan saja seperti itu. padahal kita ingin ma­ju),” katanya sambil terus mengerjakan anyam­an tikar yang belum kelar.

Suntikan Modal
Melihat dari dekat kehidupan para perajin anyaman pandan di Desa Cibeu­reum, Banjar, Pandeglang nampak jelas, ekonomi rakyat harus berjalan sedirian. Tidaklah heran, bila ma­syarakat perajin pandan yang bermodal­kan ‘dengkul’ mam­pu menghidupi keluarga­nya sehari-hari.

Banyak memang kucuran-kucuran dana untuk membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah. sebut saja program pe­ngembangan Kecamatan (PPK), Usaha Eko­no­mi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), Kredit Usaha Tani (KUT) dan seabrek bantun modal lainnya. Namun program-program bantuan permodalan yang ditujukan untuk mengcover ekonomi rakyat kecil tersebut ternyata belum menyentuh kehidupan masyarakat Desa Cibeureum.

Masih sumber di Kantor Koperasi Pandeg­lang, sentra tikar pandan ini merupakan sentra rumahan, artinya lebih dari 300 kepala keluarga membuat tikar pandan itu di rumah masing-masing. Namun untuk pemasaran­nya mereka mereka mempercayakan pada menejemen koperasi Pasar Cikeper (Kopaci). Koperasi inilah yang selalu melakukan pema­sar­an produk anyaman berupa barang sete­ngah jadi ke wilayah Tasikmalaya.

“Rata-rata satu orang perajin dalam sehari sanggup menghasilkan tidak kurang dari tujuh helai anyaman. Penghasilan mereka seka­rang ini sesuai banyaknya anyaman yang di­hasilkan. Namun dalam sebulan tidak kurang dari Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu, dikan­tongi perajin. Pada kemarau ini kayanya produksi menurun, karena untuk bahan baku saja kadang-kadang mereka harus menem­puh jauh ke pesisir pantai,” ungkap sumber tersebut.

Kondisi kesulitan bahan baku saat kema­rau dibenarkan pula oleh Ketua Kopaci, Edi. Menurutnya, aki­bat kemarau berkepanjangan po­hon pandan kurang subur. Untuk me­nang­gu­langi­nya mereka meng­ambil dari kawasan pantai Binua­ngeun dan Cibaliung. Namun itu ti­dak menjadi kendala berarti kare­na sudah ada persetujuan antara pihak Koperasi dengan pengelola per­kebunan yang mempunyai pan­tai dan ditumbuhi pandan berduri.

Faktor permodalan dirasakan Edi, sebuah kendala utama, apalagi bila pesan­an melon­jak sementara kemampuan keuangan Kope­rasi untuk membeli hasil anyaman warga desa sangat terbatas. Aki­batnya, dalam kon­disi tersebut tidak jarang para pengusaha anyam­­­an dari luar daerah terka­dang langsung datang kesentra, tentunya dengan modal yang cukup. Bila hal tersebut sudah terjadi pihak Koperasi, menurut Edi, hanya bisa berlapang dada.

Akibat permodalan Koperasi yang terba­tas, utamanya untuk membeli hasil kerajinan yang melimpah sesuai dengan permin­ta­an, menjadikan kondisi sentra anyaman pandan di kawasan Desa Cibeureum masih berjalan apa adanya.

“Modal salah satu kendala bagi kita. Sekarang ini untuk menampung semua hasil perajin pandan pun ditampung dan dibeli oleh Koperasi tapi masih bentu uang pribadi peng­urus yang sangat terbatas. Dana ca­dangan Koperasi pun belum seberapa. Tapi ka­lau modal ada, sepertinya peningkatan pro­duk akan memenuhi kebutuhan konsu­men, dan kebutuhan akan anyaman pandan ini sangat besar sekali peminatnya,” jelas­nya.

Pasar Terbuka
Tak dinyana, bila selama ini hasil karya war­ga Pandeglang tersebut banyak berte­bar­an di bumi Priangan. Bahkan dari sini pula anyaman setengah jadi tersebut diolah kem­bali untuk di hijrahkan ke Jajirah Arab. Pan­jang memang, untuk diceritakan. Tapi itulah sebuah realita, ketidakber­dayaan ekonomi reakyat di Pandeglang, guna mengangkat harkat martabatnya sendiri. Bila karya terse­but, bisa hijrah ke Jajirah Arabia melalui bumi Priangan, kenapa tidak dari Banten saja?

Selama ini boleh jadi warga Pandeglang sekalipun, ketika di lokasi Pangandaran, An­col maupun obyek isata yang tersebar di bu­mi Banten, menyangka topi pandan yang sudah dibentuk sedemikian rupa dihasilkan sepenuhnya oleh perajin-perajin kaki gunung Galunggung. Anggapan tersebut sah-sah sa­ja, terlebih masyarakat Banten dan Pandeg­lang khususnya, lebih mengenal warga Ta­simalaya sebagai wiraswastawan unggul.

Beberapa waktu lalu, kerajinan mereka selalu dipasarkan secara keliling keberbagai pelosok Banten. Selain itu, disana produk anyaman ini bisa didapatkan dengan mudah, mulai dari tikar, tas, topi dan lain sebagainya tersedia disana, sehingga nasib anyaman pan­­dan Cibeu­reum, seperti tamu di rumah sendiri.

Dari Desa yang masih akrab dengan rumah-rumah sederhana, berdindingkan bilik, cermin sebuah desa yang masih terting­gal setiap minggunnya tidak kurang dari 2 ribu kodi selalu dikirim ke kawasan Tasik­malaya.

Selain ke wilayah Tasikmalaya, anyaman pandan yang berbentuk barang jadi berupa tikar, pernah mang­alami masa jaya sewaktu harga cengkeh masih menjadi prima­dona. Saat itu, kenang Edi, bila membawa kodian tikar di ka­was­an Lampung tidak harus me­nung­gu lama. Begitu turun dari mobil tikar pandannya langsung dibo­rong. Dikawasan ini tikar pandan dipakai warga untuk menjemur cengkeh dan kopi.

Namun ketika cengkeh tidak lagi menjadi primadona, pema­saran ke ilayah Sumatera tersebut mulai berkurang dan akhirnya dilempar ke wilayah Tasikmalaya, walaupun dengan sistem barang setengah jadi. Tentu­nya harganya­pun tidak mahal, karena belum menjadi produk utuh, topi atau tikar misalnya. Tapi di Tasik inilah barang-barang tersebut menjadi primadona ekspor.

Dalam nalar bisnis, tentunya yang meng­ambil untung lebih, tidaklah pengusaha-pengusaha Tasik dan Pemerintah Daerahnya sendiri, bisa dibayangkan berapa kjumlah PAD yang tersedot dari sektor ini. Sementara dikampung asalnya Cibeureum, jalannya pun masih belubang-lubang.

Dalam skala harga normal, ungkap Edi, satu kali pengiriman ke Tasikmalaya bisa mengha­silkan uang sekitar 160 juta rupiah. Itu pun masih kotor, karena koperasi harus membeli lagi dari para perajin berikut biaya operasional.

Bila dimaksimalkan dengan kondisi modal yang ideal, perputaran uang dikawasan Ci­keper, Pandeglang perbulan­nya bisa men­capai 640 juta rupiah. Itu bila dikelola sepe­nuh­nya di kawasan Pandeg­lang. Rasionya, satu minggu mereka mampu mengirim hasil anyaman ke Tasikmalaya tidak kurang dari 2 ribu kodi. Perkodinya dihargai 80 ribu rupiah.

Bagaimanapun jua, apa yang diungkapkan Edi, harus menjadi kepedulian semua pihak. Gembar-gembor pemberda­yaan Koperasi dan UKM tak lebih sebuah oase ditengah bergelimangnya bantuan.

Keterbatasan ak­ses informasi tidak lantas membuat warga desa harus berjalan sen­dirian. Mereka perlu sebuah sentuhan berarti. Semakna dengan karya yang telah mereka persembahkan. Seperti halnya sosok Ra­wiah, di usianya yang senja masih tetap berkarya. Saatnya kita berpihak?

0 komentar: