Sabtu, 27 Juni 2009

Manusia Vs ‘Binatang Manusia’

Entah mengapa kita sebagai manusia, yang dituntut cerdas menggunakan akal pikiran terkadang harus terjebak dalam nafsu serakah, ingin selalu menguasai segala apa yang dianugerahkan Yang Maha Pencipta. Nafsu ingin menguasai itu pula, yang menjadikan nilai-nilai kearifan warisan leluhur, dengan sekejap kita rontokan. Naluri ke-binatang-an kita yang terkadang liar itu, dikombinasikan dengan naluri ke-malaikat-an yang tidak punya nafsu, menjadikan kita yang sedang berkuasa seolah bisa melakukan apa saja.

Nafsu serakah yang tak terbendung itu pula, menjadikan manusia teralienasi dari rasa kemanusiaannya. Sebagai yang manusia yang diberi nikmat menjadi penguasa, tidak jarang yang lengah bahkan tergelincir ke depan gerbang penjara. Apa sebab? Keserakahan pula yang melatarinya. Hukum-hukum yang kita buat, disepakati, ditegakkan, dengan sekejap bisa di’atur’ oleh mereka yang sedang berkuasa.

Keserakahan yang kita punyai, tak jarang membutakan nurani kejujuran yang sejak kita lahir miliki. Kita yang ‘dimabuk kekuasaan’ banyak yang lupa dengan yang ‘dimabuk kemiskinan’. Pemabuk kekuasaan selalu bangga dengan gunung emas ‘harta rakyat’ ---yang berhasil dikumpulkan. Masa bodo rakyat jelata, yang penting bagi pemabuk kekuasaan adalah pribadi dan kroninya sejahtera.

Keserakahan yang kita punya, telah banyak menafikan nilai-nilai akhlak dan moralitas sebuah bangsa. Sekedar menolak dan mendukung RUU APP saja, tokoh agama kita harus mengerahkan pasukannya. Sombong memang kita ini. Tak seharusnya, pro kontra soal APP menjadikan bangsa ini terkoyak dalam dua kubu, yang cenderung memberikan pelajaran buruk bagi generasi esok hari. Soal perbedaan pendapat sejatinya merupakan rahmat dari Yang Maha Kuasa, namun saat umat dihadapkan pada perbedaan sudut pandang perlunya RUU APP, kenapa harus saling ancam dan usir. Budaya siapakah itu? Jawabannya sudah jelas, budaya jahiliyah yang menafikan nilai-nilai keberagaman.

Keserakahan yang kita miliki, seolah menjustifikasi gagasan Homo Homini Lupus. Bagaimana tidak, pada sebuah kesempatan kita yang ‘berkuasa’ tidak jarang berbicara mengumbar orasi layaknya ulama yang alim nan mumpuni. Namun pada lain kesempatan kita mau-maunya dibenturkan dalam pola pikir rebutan bantuan. Padahal kita pula yang selalu mengajarkan al yadul ‘ulya khairu min al yadu sufla (tangan diatas, lebih baik daripada tangan yang dibawah). Betul-betul saat ini, keserakahan menyeret kita ke lembah kegoyahan jiwa yang mandiri dan berdedikasi, punya harkat dan martabat. Kita seolah ingin selalu mentereng dan gagah.

Keserakahan yang kita ‘isme’kan, sungguh telah menyeret dalam budaya ‘harus’, instan dan pragmatis. Nilai-nilai idealis dasar intelektual, banyak diantara kita yang telah membuangnya. Kita seolah menjadi paling idealis saat belum menampuk kekuasaan atau duduk dalam ‘kabinet bayangan’. Idealisme dengan mudahnya kita campakkan, karena sang tuan yang telah mendudukan dan memberi posisi ‘terhormat’ meminta kita untuk mendukung ide dan gagasan serakahnya.

Keserakahan yang kita pelihara, telah membawa kita pada kondisi saling curiga. Kita dihadapkan pada sikap ‘jangan-jangan’. Curiga bagi kita sejatinya sebuah sikap waspada, yang menjadikan alat kontrol bagi diri sendiri, lingkungan sosial, dan pemerintahan. Yang harus kita tepis tentunya, curiga yang melahirkan ‘budaya mencurigai’, atau singkatnya curiga yang over dosis.

Keserakahan yang kita jadikan ‘jimat’, menyeret kita pada sikap menafikan potensi sesama manusia, yang punya pendapat dan pilihan-pilihan berbeda. Kita selalu ingin orang-orang berpikiran sama dengan misi kekuasaan kita. Bila perlu, orang lain tak boleh punya kesempatan ‘berkuasa’ dan ‘memimpin’. Semua lini dan sektor dikuasai demi melanggengkan kekuasan. Lantas apa bedanya ‘kerajaan’ yang kita bangun dengan ‘kerajaan’ gerombolan singa dan macan yang menerapkan ‘animal law’.

Keserakahan yang kita bangun, telah menciptakan ‘bangunan’ tempat bersarangnya penghembus-penghembus yang mengajak pada kemaksiatan dan virus ke-dosa-an lainnya. ‘Bangunan serakah’ yang kita ciptakan telah membuat kepunahan lingkungan sekitar. Benteng-benteng yang menjadi pertahanan bangunan itu, tak lebih sebuah simbol ke-naif-an kita sebagai makhluq yang dikendalikan sang Khaliq.

Keserakahan memang harus kita hentikan. Bila tidak, itu sama dengan kita membuat kedekatan dengan kepunahan budaya berbasis kemanusiaan. Karena keserakahan dari moyangnya memang bangunan budaya yang berbasis kebinatangan. Manusia atau binatang kah kita? Atau binatang yang berwujud manusia? wallahu ‘alam bis shawab. (Saeroji, pubhlished by Tabloid Banten Ekspose, Volume 6/Nomor 18/Juni 2006)

Jumat, 26 Juni 2009

Quo Vadis BDS Banten _3

Identifikasi Potensi BDS-P
Sampai tahun 2005 khususnya di Indonesia, perlu menjadi pemahaman bersama bahwa pada realitasnya BDS Provider yang bergerak dalam usaha mikro dapat dipastikan masih minim. BDS provider yang tumbuh di Indonesia masih terbatas pada lini usaha skala kecil menengah, tak ketinggalan BDS yang ada di Banten

Menurut Ketua LSM Samudera, Nasrullah, kemunculan BDS provider yang tumbuh dan bergerak pada lini usaha kecil menengah (UMK) ini pun sebenarnya diembrioni dari adanya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan atau juga lembaga-lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan yang mencoba memberikan berbagai layanan pelatihan tentang teknologi produksi maupun manajemen.

“Jadi sebenarnya, yang selama ini juga mempunyai sejumlah masyarakat dampingan pada lini usaha kecil mene­ngah adalah lembaga-lembaga sema­cam di atas, misalnya lembaga pen­didikan menejemen, sekolah tinggi tata boga dan beberapa lembaga pendidikan lainya yang memiliki berbagai ke­ahlian tehnis,” ujarnya.

Demikian juga dengan persoalan dana operasional BDS, masih banyak bergantung pada lembaga lain, entah lembaga donor maupun pemerintah. Ketika lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga yang bergerak di sektor jasa konsultan tersebut menjual jasanya pada usaha kecil menengah, sebenarnya juga masih disupport oleh lembaga donor atau pemerintah dalam rangka mengembangkan dan memper­kuat UMKM. “Maka yang terjadi di sini sebenarnya, UMKM juga belum murni seratus persen menggunakan jasanya dalam artian terjadi suatu transaksi atas jasa-jasa berkait dengan kebutuhan pengembangan usaha UMKM,” tegasnya.

Menyoroti kondisi yang terjadi di lapangan, maka dalam pelaksanaan program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang hendak digarap oleh BDS fasilitator, menurut Bambang DS, terkait erat dengan upaya indentifikasi potensi dan pengor­ganisasian BDS Provider.

“Pertimbangan terpenting adalah menge­tahui animo atau tingkat keter­tarikan BDS Provider terhadap isu-isu yang akan dikembangkan dalam program. Yang menjadi target sebenarnya adalah menangkap seberapa jauh tang­gapan BDS provider untuk meyakini konsep-konsep sekaligus konsekuensi terhadap upaya pengembangan pasar BDS di usaha mikro,” ujarnya.

Melakukan interaksi bisnis pada lini usaha mikro, pada kenyataannya akan jauh lebih susah dibandingkan di lini usaha kecil menengah. Karenanya, kemampuan BDS provider dalam mela­kukan penilaian pasar, cara promosi sampai pada aktivitas pengelola BDS ketika bersinggungan dengan usaha mik­ro, sangat menentukan sekali. Cela­kanya, masih banyak BDS yang ber­munculan di Banten, masih miskin yang berkemampuan untuk memahami sebe­rapa besar potensi pengembangan usaha kelompok yang menjadi dam­ping­annya.

Untuk menjadikan BDS Provider lebih kuat dalam mengidentifikasi perilaku kelompok usaha mikro yang menjadi dampingannya, maka penge­lola BDS harus mengetahui berbagai kebutuhan yang diperlukan dalam mela­kukan kegiatan lapangan. Misal­nya penilaian pasar, teknik promosi, masalah harga dan beberapa yang berkait dengan kebutuhan pengem­bangan pasar BDS di usaha mikro.

Mengenai bentuk bentuk kegiatan untuk mengidentifikasi potensi BDS Provider, menurut Kasi UKM pada Subdin UKM-Kop Dinas Perindagkop Banten Khaerul Saleh, bisa dilakukan melalui workshop, seminar atau ben­tuk-bentuk kegiatan lainnya yang di­pan­dang efektif dan bisa secara mak­simal mencapai target yang di­inginkan. “Perlu diperhatikan dalam hal ini, ja­ngan terlalu berani menya­takan bahwa program intervensi akan melibatkan sekian jumlah BDS Provider jika belum secara jelas dan mampu meng­identifi­kasi keberadaan BDS provider,” tegasnya.

Dikatakan, yang tidak kalah penting­nya dalam melakukan program-program intervensi pengembangan pasar BDS di usaha mikro adalah menentukan siapa yang akan menjadi sasaran program. Artinya kita harus bersepakat usaha mikro macam apa yang akan men­jadi sasaran program, sektor apa yang akan menjadi bidang garap. Hal ini harus telah dirumuskan dan diper­je­las sejak awal baik berkait dengan tolok ukur maupun definisinya. Kemu­di­an tentang alasan-alasan mengapa harus usaha mikro sebagai sasaran program.

“Hal ini perlu dikemukakan karena kelak berkait dengan makna subtansi atas komitmen dan keberpihakan. Sejak awal hal tersebut juga harus dipaham­kan dan menjadi pemahaman bagi BDS Provider sebagai fasilitator lapang dalam konteks program,” lanjut pria yang kini dipercaya menjadi Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Serang,.
Namun demikian salah tafsir ter­hadap pemahaman usaha mikro selalu saja terjadi.

Karenanya Bambang DS, menyarankan agar tidak salah tafsir atau salah pemahaman terhadap usaha mikro, maka pemahaman metodologi penelitian menjadi penting adanya, karena memahami usaha mikro tidak boleh terbatas pada data-data pustaka, baik yang disajikan oleh dinas-dinas perindustrian dan perdagangan atau juga hasil-hasil penelitian dari kalangan akademisi yang lebih cenderung ber­sifat kuatitatif dan sering tidak sesuai dengan realitas lapang yang sesung­guhnya.

“Oleh sebab itu, pada tahap awal BDS Fasilitator harus pula melakukan in­dentifikasi berbagai masalah dan kebu­tuhan berkait upaya pengembangan usaha mikro secara partisipatif. Ar­ti­nya, bagaimana upaya identivikasi ini, minimalnya harus melibatkan usaha mikro secara intens, sehingga akan ter­gambar berbagai kendala, peluang seka­ligus tehnik dan usulan pemecahan ma­sa­lah yang ditawarkan secara langsung oleh usaha mikro itu sendiri,” ujarnya.

Dalam konteks program intervensi inilah, pada akhirnya BDS Fasilitator pun tidak lagi membutuhkan tenaga yang akan berfungsi dan memerankan sebagai fasilitator lapang, karena secara otomatis kelak dilakukan oleh BDS Provider.

Lapangan Kerja
Kenyataan lapang bahwa BDS Provider di Indonesia yang bergerak dan menjual jasa-jasanya pada lini usaha mikro bisa dikatakan tidak ada sama sekali, yang pada giliranya cukup sulit untuk mengidentifikasi keberadaanya, menjadi satu problem tersendiri dalam konteks pelaksanaan program inter­vensi.

Sebuah tawaran solutif dicetuskan Bambang DS, bahwa sejalan dengan konsep BDS yang salah satunya juga mengharapkan tercipta dan tumbuh­nya lembaga-lembaga usaha baru yang mampu menyediakan BDS, maka dalam proses indentifikasi dan proses sosiali­sasi program yang dilakukan oleh BDS Fasilitator, dalam pendapat Bambang, hendaknya bisa membuka ruang so­siali­sasi secara luas, dalam artian sedapat mungkin dapat mengundang berbagai kalangan yang memiliki komitmen dan kemauan untuk ber­gerak dalam usaha di sektor ini.

Sebut saja beberapa elemen poten­sial yang bisa diharapkan dapat terlibat dalam hal ini adalah; individu-individu dari kalangan akademisi dari berbagai macam displin ilmu, utamanya lulusan dari perguruan tinggi yang belum men­dapatkan pekerjaan. Dari sini sebe­narnya, bertujuan untuk membuka peluang usaha baru yang tampaknya sampai saat sekarang belum banyak digeluti masyarakat. “Hanya masalah­nya, dari kalangan masyarakat ini be­lum banyak mendapatkan berbagai pengetahuan yang erat kaitanya dengan metode atau tehnik penilaian pasar BDS di usaha mikro. Maka konsekwensi logisnya, perlu secara maksimal BDS Fasilitator memberikan berbagai ben­tuk kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan bagi mereka berkait dengan penilaian pasar BDS,” papar Bambang.

Ketika pemerintah telah mampu mela­kukan indentifikasi potensi, ke­mam­puan dan kekurangan sekaligus mengetahui secara pasti profil dan keberdaan BDS provider, maka salah satu hal yang juga mutlak dipertim­bangkan dalam desain program inter­vensi pasar BDS di usaha mikro adalah, cara mentrasfer metodologi partisi­patif kepada BDS Provider sebagai keyakinan dalam melakukan aktivitas penilaian pasar dalam sebuah pela­tihan. Kemu­dian melakukan uji coba atau praktek langsung tehnik-teh­nik pe­nilaian pasar secara partisipatif pa­da saat pelatihan.

Disamping itu juga perlu dipertegas dan disepakati secara jelas, tentang peran dan fungsi Pemerintah, BDS Provider sekaligus keberadaan usaha mik­ro di lapangan dalam sebuah konteks program pengembangan pasar BDS. Hal ini sebenarnya menghendaki adanya kemauan BDS Provider baik secara in clas maupun out class.

Bagaimana dengan kiprah BDS yang ada di Banten? Nampaknya, pening­katan pemampuan BDS tidak saja dila­kukan di awal, namun juga dilakukan pada saat BDS provider menjalankan program dalam bentuk kegiatan monitoring dan pendampingan yang dila­kukan secara partisipatif. Tentu saja pelaksanaannya butuh waktu dan biaya yang lebih tinggi jika diban­dingkan dengan pendekatan non par­tisipatif.

Quo Vadis BDS Banten _2

Yang Untung Dilayani
Bag-2

Konsep BDS sebenarnya telah se­demikian tertata untuk dikembangkan pada usaha mikro atau kecil, dalam implementasinya dikemudian hari diperhalus menjadi konsep yang agak berlainan, seperti BDC atau pusat pengembangan usaha. Celakanya, ter­nyata program dengan konsep ter­sebut, pada akhirnya tidak lagi menyen­tuh usaha mikro, dengan kata lain tidak tepat sasaran. Di lain sisi ketika konsep BDS ini masuk di Indonesia, dapat di­katakan bahwa semua pihak yang mes­tinya terkait dalam upaya pengem­bangan dan penguatan usaha mikro (NGO dan Pemerintah) tampak angkat tangan untuk menyentuh dan memilih usaha mikro sebagai sasaran program dalam konsep BDS.

Pada umumnya, baik NGO maupun pemerintah lebih memilih pada wilayah usaha menengah-kecil yang dianggap sukses dalam menjalankan usahanya dan relatif memiliki kemampuan bayar dalam konteks pengembangan jasa layanan bisnis, tidak seperti halnya di usaha mikro yang dipandang jauh dari kemampuan sekaligus kemauan bayar. Problem inilah yang dalam pendapat Bambang DS, mesti dilacak jawabannya yakni bagaimana arah dan keberpihak­an konsep ini akan tetap berada pada lini usaha mikro, bukan yang lainya. “Dengan demikian pengentasan kemis­kinan melalui pendekatan bisnis betul-betul terealisasi,” urainya lebih lanjut.

Bercermin pada persoalan di atas, menurut Bambang DS, yang mesti dilakukan adalah bagaimana dapat merancang suatu desain kegiatan program dengan konsep BDS agar tetap berjalan pada rel yang diharapkan oleh konsep BDS pada awalnya, yakni berpihak pada pengembangan usaha mikro. Oleh karenanya, perlu ada upaya sejak awal bahwa kegiatan penilaian pasar BDS dalam usaha mikro sudah melibatkan BDS provider.

Pelibatan itu sendiri dalam pan­dangan Bambang, perlu mendudukan peran dan fungsi antara BDS provider, usaha mikro dan BDS Fasilitator pada porsi dan wilayah yang berlainan na­mun senantiasa berkaitan. Usaha mikro sebagai sasaran program, BDS provider sebagai fasilitator lapang dan konsultan usaha mikro, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai BDS fasilitator yang memerankan program-program inter­vensi tumbuhnya pasar BDS di usaha mikro.

Sementara itu, pemerhati UMKM Banten, Bandi Subandi menyatakan, konsep peng­embangan BDS seperti itu men­syaratkan adanya metodologi yang bersifat partisipatif.

Dalam paparan Bandi, metodologi ini mengandung langkah-langkah bahwa pertama, BDS fasilitator melakukan menilaian dan pemetaan berbagai masalah berkait dengan pengembangan pasar di usaha mikro. Kedua, mela­kukan penilaian hasil-hasil pemetaan masalah berkait dengan pengembangan pasar BDS di usaha mikro yang dila­kukan oleh BDS fasilitator (Pemerintah) bersama-sama dengan BDS provider. Ketiga, merencanakan, menyusun dan melakukan berbagai kegiatan lapang secara bersamaan antara BDS fasili­tator (pemerintah) dan BDS Provider. Keempat, BDS provider melakukan penawaran jasa untuk penguatan usaha mikro sekaligus memberikan peluang dan mengumpulkan sejumlah umpan balik dari kliennya secara partisipatif.

Quo Vadis BDS Banten_1

Bag-1

Terlepas dari sejauh mana tingkat keberhasilan konsep Business Development Servicess (BDS) sebagai model atau pendekatan dalam program intervensi untuk pengembangan usaha kecil selama ini, yang pasti konsep BDS bermula dari sebuah refleksi dan keyakinan baru atas kegagalan berbagai program yang dijalankan baik oleh pemerintah, bank dunia, atau pihak lain seperti Non Government Organization (NGO) dan lembaga donor untuk pengentasan kemiskinan melalui penciptaan dan pengembangan usaha secara signifikan membuahkan hasil, terutama di Banten.

SEJUMLAH realitas lapang ditemukan bahwa beberapa program yang diluncurkan di tengah-tengah masyarakat tidak mampu menyelesaikan masalah berkait dengan upaya pengenasan problem kemiskinan. Mengapa demikian? Menurut Direktur Asosiasi Bisnis Koperasi Usaha Kecil dan menengah (ASBIKUM), Khairul Umam, diakibatkan program-program pengentasan kemiskinan yang berkait dengan penciptaan dan pengembangan usaha, yang mestinya harus melalui pende¬katan kewirausahaan atau pendekatan bisnis, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Yang terjadi, program-program yang dijalankan malahan bersifat hibah murni dan lebih mengedepankan pendekatan sosial, sehingga usaha mikro atau kelompok marginal tidak terdorong dan mampu dirangsang untuk berpikir dengan pola dan pendekatan bisnis,” ujar mantan pengajar di Akademi Maritim Guna Nusa Cilegon.

Ia juga menyayangkan berbagai macam pelatihan yang dilakukan tidak berpijak dari kebutuhan pengusaha melainkan hanya keinginan lembaga pelaksana proyek, dan secara metodologis jadwal atau konsep pelatihan yang dirancang lebih bersifat seremonial dan berisi parade ceramah, dan tidak jarang hanya berangkat dari niatan pemerataan uang proyek.

“Atas dasar kondisi inilah kemudian konsep BDS diyakini dan dikembangkan di Indonesia. Walaupun nyatanya, hal ini tidak begitu saja menuai hasil seperti yang diharapkan. Masih banyak berbagai problem dasar yang menyebabkan konsep pendekatan ini tidak maksimal terimplementasi dalam program-program yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun NGO,” lanjutnya.

Sementara Bambang D Suseno, dosen dan peneliti pada PIKSI INPUT Serang, menyatakan bahwa pada kisaran tahun 2001, tatkala konsep BDS ini mulai masuk di Indonesia, pada saat yang sama sebenarnya terjadi adanya pertentangan batin dengan keyakinan atau konsep yang tengah dipegang di kalangan aktivis NGO atau pemerintah sendiri.

Hal ini terjadi, urainya, lebih dikarenakan baik kalangan NGO maupun pemerintah dalam melakukan berbagai program masih menggunakan pola-pola karikatif atau pendekatan sosial di dalam pengembangan usaha mikro. Di samping itu ada juga keyakinan bahwa tidak mungkin pengusaha mikro yang notabene hanya bermodalkan keterampilan dapat membeli jasa-jasa yang ditawarkan BDS provider.

“Sadar atau tidak, setuju atau tidak, bahwa keberadaan BDS Provider adalah bagian dari pasar bebas, sementara waktu usaha mikro kecil menengah (UMKM) merupakan perwujudan dari realitas kemiskinan dan ketidakmampuan usahawan untuk bersaing dengan pasar bebas itu sendiri,” paparnya.

Pertentangan ini, nampaknya, mewujud pada pergeseran-pergeseran terhadap konsep BDS yang tidak diterapkan sebagaimana aslinya. Bahwa kemudian, seluruh program-program yang dikembangkan NGO atau lembaga donor yang mempunyai adaptasi ke Indonesia, begitu juga pemerintah, tanpa banyak mempertimbangkan berbagai konsekwensi.

Stop Dreaming Start ACTION, Langkah Awal Menuju Sukses

Stop Dreaming Start ACTION, Langkah Awal Menuju Sukses

Oleh: Saeroji

Stop Dreaming Start ACTION, sebuah tema kontes SEO tiba-tiba saja melejit, ---meminjam bahasa mas Joko Susilo, menggemparkan jagad internet. Kenapa ini terjadi…? Bisa jadi karena Stop Dreaming Start ACTION baru kali ini digelontorkan oleh kalangan pegiat blog sendiri. Atau, bisa juga karena tertarik dengan hadiah yang cukup lumayan additional bonus-bonus yang dijanjikan.

Kampanye Stop Dreaming Start ACTION sendiri, tak terlepas dari upaya cerdas seorang Joko Susilo, yang berkeinginan bagaimana rekan-rekan blogger di Indonesia, semakin maju dan terdepan dalam posisi Search Enginering Optimations (SEO). Sebab, menurut Jokosusilo, weblog mempunyai keunikan tersendiri. Sehingga kampanye Stop Dreaming Start ACTION pun, menjadi inspirasi kalangan blogger, utamanya mereka yang terafiliate atau pernah berhubungan dengan web http://www.jokosusilo.com/, http://www.formulabisnis.com/, http://www.rahasiabloging.com/ atau website/weblog milik bloger lain yang sama-sama mengkampanyekan byword Stop Dreaming Start ACTION.

Bagi pemula seperti saya, Stop Dreaming Start ACTION, memiliki arti tersendiri. Sepakat memang, mestinya semua warga bangsa, yang sudah mengenal internet maupun yang masih bergerak di dunia offline, selalu mengampanyekan Stop Dreaming Start ACTION, dalam setiap gerak langkah kehidupan. Walaupun agak-agak gaptek, bagi saya Stop Dreaming Start ACTION menjadi inspirasi hidup yang luar biasa. Apalagi saat bisnis offline saya terancam down. Tentu akan berbeda, dengan anda yang sudah mahir dengan dunia blog. Namun demikian, sepanjang derap kehidupan masih ada, semuanya akan berputar. Itu pula yang menjadikan saya dan mungkin kawan-kawan pemula lainnya, tetap maju dalam kontes SEO Stop Dreaming Start ACTION.

Dari sisi edukasi, Stop Dreaming Start ACTION, jelas memberi warna tersendiri. Bila saja, anda yang bergerak dalam dunia pendidikan turut mengampanyekan Stop Dreaming Start ACTION, tentu akan memberikan keuntungan tersendiri bagi siswa-siswa anda, apalagi mereka saat ini banyak yang sudah melek internet. Harus dicermati pula, Teknologi Informasi kini sudah masuk kurikulum. Artinya, sebuah tuntutan pula, manakala siswa yang anda bimbing mengenal Stop Dreaming Start ACTION. Kenapa….? Anda tentu akan bangga, bila mengetik dalam mesin pencarian nama siswa anda yang sudah aktif menjadi bagian dunia internet, muncul dalam 10 besar mesin pencarian google.co.id dan sejenisnya. Inilah manfaatnya mengenal dan memahami Stop Dreaming Start ACTION.

Anda masih belum yakin dengan arah gagasan Stop Dreaming Start ACTION....? Saya pun awalnya demikian. Mungkin tak jauh berbeda dengan anda. Namun setelah saya telaah Stop Dreaming Start ACTION, merupakan sebuah motivasi yang sangat luar biasa. Saya kaitkan dengan keyakinan keimanan saya, Stop Dreaming Start ACTION, merupakan sebuah keharusan.

Bila kita terus bermimpi, lalu kapan cita-cita atau apapun yang kita akan gagas berhasil. Disinilah anda tentu akan sepakat, Stop Dreaming Start ACTION merupakan langkah baru dalam memulai bisnis baru di dunia maya. Bahkan dalam bisnis offline pun, saya yakin Stop Dreaming Start ACTION, mempunyai makna yang sangat vital.

Kampanye Stop Dreaming Start ACTION, yang telah dilakukan kawan-kawan netter atau blogger, yang bersumber pada ide brilian Jokosusilo, harus diakui sebagai sebuah terobosan baru dalam jagad maya. Dengan kontes SEO Stop Dreaming Start ACTION, para netter yang pemula hingga yang sudah piawai dalam meraih posisi SEO ikut berlomba. Tidak ada klasifikasi lagi. Apa maknanya…? Secara positif thinking, jelas sebuah pembelajaran baru, bahwa dengan Stop Dreaming Start ACTION, semuanya menjadi setara. Lagi-lagi, Stop Dreaming Start ACTION menjadi strategi kunci untuk meraih posisi atas, atau basal masuk dalam 10 besar mesin pencarian.

Stop…! Saya kira siapapun anda dan apapun profesi anda, selayaknya tidak mengabaikan Stop Dreaming Start ACTION. Tanamkan Stop Dreaming Start ACTION dalam derap kehidupan kita. Tanamkan Stop Dreaming Start ACTION, dalam membimbing keluarga kita. Kampanyekan Stop Dreaming Start ACTION bagi kawan kita yang masih antri carti kerja.

Saya yakin, dengan melaksanakan gagasan Stop Dreaming Start ACTION, hidup anda akan berubah seribu persen. Anda belum yakin juga, stop mimpi-mimpi anda…..! Segeralah bulatkan tekad untuk merubah kehidupan anda. Apakah artinya itu bukan Stop Dreaming Start ACTION……..? Andalah penentunya. Yang jelas, banyak kawan-kawan yang sudah sukses dengan kampanye dan implementasi Stop Dreaming Start ACTION.

Kontes SEO Joko Susilo “Stop Dreaming Start ACTION” Dibuka!

Menggemparkan! Itulah kata yang tepat menggambarkan kontes SEO Joko Susilo “Stop Dreaming Start ACTION” ini. Begitu pengumuman ini diposting kemarin lusa, jagad internet Indonesia langsung heboh dengan berita ini. Kata kunci Stop Dreaming Start Action langsung diserbu para blogger.

Selain dari komentar yang muncul pada posting tersebut, respon peserta yang begitu besar terlihat dari membludaknya peserta yang mendaftar. Dalam dua hari pra-pembukaan, jumlah calon peserta sudah mencapai 700 orang. Para SEO mania baik yang mengaku masih pemula maupun yang sudah pakar, turut berlomba meramaikan kontes ini.

Maka langsung saja… dengan ini, saya nyatakan…
Kontes SEO Joko Susilo “Stop Dreaming Start ACTION” dibuka!

Selamat berlomba dengan jujur dan menjunjung sportivitas. Pastikan anda membaca peraturan yang ditetapkan dan terus mengikuti berita terbaru seputar kontes ini.
Untuk memperjelas, saya tambahkan beberapa keterangan dalam kontes ini:
  1. Pemenang kontes adalah peserta yang blog atau situs webnya tercantum di Google.co.id pada pukul 9 pagi WIB, pada “telusuri web”, bukan “laman dari Indonesia”.
  2. Panjang artikel yang dilombakan minimal 400 kata yang bicara tentang Stop Deaming Start Action.
  3. Untuk memacu kreativitas anda, postingan yang semata-mata hanya berita kontes tidak dimasukkan dalam hitungan lomba. Jadi andaikan pada akhir batas perlombaan terdapat artikel berita kontes yang masuk dalam 10 besar, itu tidak termasuk pemenangnya. Dan akan diganti pada urutan berikutnya. Maka dari itu, anda harus segera edit jika artikel yang anda lombakan seperti itu.
  4. Tetapi jika postingan anda ditulis sesuai dengan tema yang diharuskan, namun juga menambahkan sedikit informasi soal berita kontes, maka itu dianggap sah dan dimasukkan sebagai artikel peserta. Paling tidak materi harus didominasi oleh tulisan motivasi untuk mendorong pembaca Stop Dreaming Start Action. Infomasi kontes boleh dicantumkan sedikit/belakangan atau di postingan lain.
  5. Panitia berhak meninjau ulang peraturan seperti menambah, mengurangi peraturan menyesuaikan dengan perkembangan kompetisi lomba. Untuk hal yang ini tidak bisa diganggu gugat.

Hadiah bagi peserta kontes dan penyebar berita kontes
Bagi peserta dan penyebar berita kontes, anda mendapat hadiah kejutan berupa 3 ebook seputar SEO. Jadi ini bisa dipakai sebagai amunisi tambahan untuk bertempur.


Untuk mendapatkan hadiahnya, silakan laporkan tulisan anda melalui Peserta Area dengan cara memasukkan URL penyebaran berita kontes di form yang telah disediakan. URL download bonus akan kami berikan mulai tanggal 21 Juni 09.
Tanya Jawab Kontes
1. Kapan pendaftaran terakhir?
Pendaftaran terus berlangsung sampai sehari sebelum kontes berakhir.
2. Boleh tidak menulis lebih dari satu artikel?
Sangat boleh.
3. Punya situs web atau blog lebih dari satu, bolehkah didaftarkan semua?
Boleh.
4. Apa maksudnya URL dilarang menggunakan domain bertarget kata kunci. Hanya subdomain dan nama file yang boleh bertarget kata kunci?
Begini penjelasannya:
- Domain stopdreamingstartaction.com, stopdreamingstartaction.net dan sejenisnya = dilarang
- stopdreamingstartaction.domainanda.com dan sejenisnya = boleh
- domainanda.com/stopdreamingstartaction.html dan sejenisnya = boleh
Alasan saya tidak memperbolehkan nama domain dijadikan target karena keterbatasan kesediaan nama domain utk target itu. Jika nanti berebut membeli domain sejenis, kasihan yang belakangan.
5. Bolehkah memakai squidoo.com?
Boleh.
6. Bolehkah backlink ke URL utama JokoSusilo.com?
Boleh.
7. Boleh melakukan backlink lebih dari satu kali ke blog jokosusilo.com dalam satu artikel?
Boleh.
8. Bolehkah beriklan PPC untuk promosi blog?
Boleh.
9. Apa memang benar peserta kontes hanya boleh berasal dr dalam negeri?
Benar. Kontes ini didedikasikan khusus buat seluruh warga Indonesia. Bila anda orang Indonesia, memiliki blog dan memiliki rekening bank di Indonesia, namun tengah berada di luar negeri (sedang sekolah dan lain-lain), anda tetap boleh mengikutinya.
10. Bagi yang sudah menjadi member RahasiaBlogging apakah mendapat hadiah tambahan yang sama?
Akan diganti dengan hadiah tambahan lain yang sepadan. Maka dari itu jangan tangguhkan membeli RahasiaBlogging.com!
11. Metode Black Hat apa saja yang tidak boleh digunakan?
Semua metode blackhat dilarang.
12. Berapa panjang tulisan?
Minimal 400 kata.
13. Bagi penyebar berita kontes apakah diundi?
Tidak. Tanpa diundi anda akan mendapatkan hadiah dari JokoSusilo.com karena membantu menyebarkan informasi ini.
14. Apa hadiah langsung bagi peserta dan penyebar kontes?
Silakan lihat di atas. 3 ebook tentang SEO sebagai amunisi anda berlomba.
15. Jika dalam 10 besar ada 2 artikel dari blog yang sama (domain sama), apakah orang tersebut menang dua?
Tidak. Hanya artikelnya dengan posisi teratas yang dianggap sebagai juara.
16. Jika dalam 10 besar terdapat dua atau lebih blog /situs web yang dimiliki orang yang sama (domain berbeda) apakah akan tetap di hitung sebagai 2 pemenang atau dianggap 1 saja?
Tetap dihitung keduanya.
17. Bagaimana jika saya memakai domain redirect Co.cc?
Maaf tidak dipebolehkan. Pakailah url asli anda.

Aturan tambahan atau ketentuan lain yang dirasa belum jelas, akan diposting pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Karena itu kunjungi terus blog JokoSusilo.com. Komitmen saya, akan menyelenggarakan kontes yang jujur dan adil buat semua.
Selamat ACTION! GO… GO… GO…!

Kamis, 25 Juni 2009

Dibalik Geliat Anyaman Pandan, Perlu Sentuhan Manajemen dan Permodalan

Setelah menempuh perjalanan kurang dari 15 menit, kita bisa sampai di Desa Cibeu­reum Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeg­lang. Dari pertigaan jalan lingkar sela­tan Pandeglang hingga ke lokasi sentra pera­jin anyaman dari pandan tersebut, terlihat ka­nan kiri jalan, persawahan yang terbentang dengan percikan air diselokan yang nampak tidak pernah kering, kemarau sekalipun, menambah betah dan seolah menjadi berkah tersendiri bagi Kabupaten Pandeglang.

Adalah mereka yang tinggal tidak jauh dari pusat keramaian kota. Disana tidak kurang dari 300 perajin anyaman pandan terkumpul, menuai rezeki sehari-hari dari hasil anyam­an­nya. Ribuan kodi setiap minggunya selalu mereka hasilkan. Namun demikian, dari sorot mata para perajin yang hampir didominasi kaum ibu dan gadis desa tersebut, nampak, seolah belum bisa berbuat banyak. Ribuan kodi itupun akhirnya menjadi saksi bisu, ketidakberdayaan mayoritas warga desa. Padahal, secara geografis keberadaan sentra anyaman pandan itu, tidak begitu jauuh dari pendopo Kabupaten Pandeglang, dimana penggede pengambil kebijakan selalu beradu komentar: pemberdayaan ekonomi masya­rakat.

Menurut Ketua Koperasi Pasar Cikeper (Kopaci), Edi, aktifitas yang sekarang ini ter­lihat, sudah berlangsung cukup lama dari sejak jaman penjajahan. Sebuah kewajaran bila masyarakat Desa Cibeureum dan sekitar­nya, sudah tidak asing dengan soal anyaman pandan. Disekeliling rumah warga, pasti ada tanaman pandan yang menjadi bahan baku utama.

Tempo dulu, kenang Edi, anyaman pandan sering dipakai sebagai baju keseharian. Itu terjadi zaman Jepang. Kini tentu saja tidak lagi, melainkan menjadi tentengan masyara­kat Timur Tengah sebagai pengganti kantung plastik sehabis berbelanja dari supermarket.

Makanya, kini semakin menjadi tidak wajar, ketika hari-hari masyarakat Desa Cib­eu­reum dan sekitarnya hingga keperbatasan Kabupaten Lebak kehidupan­nya masih diba­wah garis kemiskinan. Lukisan yang sangat kontras manakala hasil karya mereka dalam bentuk barang setengah jadi kemudian diki­rim ke wilayah Priangan, lalu diolah menjadi barang jadi dan diekspor ke Timur Tengah.

Tanpa disadari, kreatifitas masyarakat Ka­bupaten Pandeglang tersebut ternyata mem­punyai nilai lebih. Apalagi bila dikelola secara maksimal dengan manajemen yang profe­sion­al. Buntutnya, bila dikelola dengan baik dengan dukungan penuh dari Pemkab setem­pat, tidak bisa dipungkiri bakal menghasilkan tambahan pendapatan asli daerah (PAD), dan tentu saja masyarakat perajin terangkat kehidupannya secara ekonomi.

Dari penuturan kaum ibu, anyaman pandan tidak hanya untuk dibuat tas (slipi, red) me­lain­kan berbagai asesoris lainnya. Sebut saja, tas kecil sebagai souvenir khas Pandeg­lang, topi dan lainnya. Tidaklah aneh bila di sebuah hotel dikawasan pantai Tanjung Lesung, kita mungkin menjumpai seorang wisatawan memakai sandal dengan bahan bakunya dari pandan yang telah dianyam.

Bila saja, pengambil kebijakan dan peng­giat wisata lokal mau peduli, hasil kerajinan anyaman pandan ini bisa konsumsi masya­rakat wisata yang tersebar dikawasan pantai Tanjung Lesung, Carita hingga Anyer. Semisal saja, untuk sekedar menahan panas, wisata­wan dikawasan pantai Carita bisa memakai topi pandan. Selain kesannya alami, juga sangat ramah lingkungan. bahkan bila rusak dan dibuang bisa menambah kesuburan tanah, karena cepat lapuknya dibanding bahan-bahan dari plastik.

Perkembangan produk anyaman pandan sudah sangat meningkat, terkenal dimana-mana. Saatnya untuk serius berpihak ke me­re­ka. Melalui perkuatan manajemen dan se­abreg persoalan lain yang selalu melilit mereka.

Seperti halnya sosok Rawiah, wanita yang berusia 85 tahun ini, mengatakan, bahwa diri­nya sudah sejak kecil diajari orang tuanya menganyam tikar dari pandan. Namun dalam pengakuannya, belum pernah mendapatkan bantuan modal untuk peningkatan usahanya. Padahal usahanya ini sudah melanglang buana ke seluruh negeri, bahkan mancane­gara.

Ibu mah ti alit ngadamel ieu samak pan­dan, balajarna ti kolot ibu. Nuhun, ieu tina sa­mak bae ibu tiasa nyakolakeun anak. Upami eta bantuan ti pamarentah tacan pernah aya. Ulah ning bantuan, jalan bae geh sakitu bae, padahal urang hayang maju. (Ibu sejak kecil sudah membuat tikar dari pandan, belajar dari orang rua, dari membuat tikar saja ibu bisa me­nye­­ko­lah­kan anak. Jangankan bantuan, jalan saja seperti itu. padahal kita ingin ma­ju),” katanya sambil terus mengerjakan anyam­an tikar yang belum kelar.

Suntikan Modal
Melihat dari dekat kehidupan para perajin anyaman pandan di Desa Cibeu­reum, Banjar, Pandeglang nampak jelas, ekonomi rakyat harus berjalan sedirian. Tidaklah heran, bila ma­syarakat perajin pandan yang bermodal­kan ‘dengkul’ mam­pu menghidupi keluarga­nya sehari-hari.

Banyak memang kucuran-kucuran dana untuk membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah. sebut saja program pe­ngembangan Kecamatan (PPK), Usaha Eko­no­mi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), Kredit Usaha Tani (KUT) dan seabrek bantun modal lainnya. Namun program-program bantuan permodalan yang ditujukan untuk mengcover ekonomi rakyat kecil tersebut ternyata belum menyentuh kehidupan masyarakat Desa Cibeureum.

Masih sumber di Kantor Koperasi Pandeg­lang, sentra tikar pandan ini merupakan sentra rumahan, artinya lebih dari 300 kepala keluarga membuat tikar pandan itu di rumah masing-masing. Namun untuk pemasaran­nya mereka mereka mempercayakan pada menejemen koperasi Pasar Cikeper (Kopaci). Koperasi inilah yang selalu melakukan pema­sar­an produk anyaman berupa barang sete­ngah jadi ke wilayah Tasikmalaya.

“Rata-rata satu orang perajin dalam sehari sanggup menghasilkan tidak kurang dari tujuh helai anyaman. Penghasilan mereka seka­rang ini sesuai banyaknya anyaman yang di­hasilkan. Namun dalam sebulan tidak kurang dari Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu, dikan­tongi perajin. Pada kemarau ini kayanya produksi menurun, karena untuk bahan baku saja kadang-kadang mereka harus menem­puh jauh ke pesisir pantai,” ungkap sumber tersebut.

Kondisi kesulitan bahan baku saat kema­rau dibenarkan pula oleh Ketua Kopaci, Edi. Menurutnya, aki­bat kemarau berkepanjangan po­hon pandan kurang subur. Untuk me­nang­gu­langi­nya mereka meng­ambil dari kawasan pantai Binua­ngeun dan Cibaliung. Namun itu ti­dak menjadi kendala berarti kare­na sudah ada persetujuan antara pihak Koperasi dengan pengelola per­kebunan yang mempunyai pan­tai dan ditumbuhi pandan berduri.

Faktor permodalan dirasakan Edi, sebuah kendala utama, apalagi bila pesan­an melon­jak sementara kemampuan keuangan Kope­rasi untuk membeli hasil anyaman warga desa sangat terbatas. Aki­batnya, dalam kon­disi tersebut tidak jarang para pengusaha anyam­­­an dari luar daerah terka­dang langsung datang kesentra, tentunya dengan modal yang cukup. Bila hal tersebut sudah terjadi pihak Koperasi, menurut Edi, hanya bisa berlapang dada.

Akibat permodalan Koperasi yang terba­tas, utamanya untuk membeli hasil kerajinan yang melimpah sesuai dengan permin­ta­an, menjadikan kondisi sentra anyaman pandan di kawasan Desa Cibeureum masih berjalan apa adanya.

“Modal salah satu kendala bagi kita. Sekarang ini untuk menampung semua hasil perajin pandan pun ditampung dan dibeli oleh Koperasi tapi masih bentu uang pribadi peng­urus yang sangat terbatas. Dana ca­dangan Koperasi pun belum seberapa. Tapi ka­lau modal ada, sepertinya peningkatan pro­duk akan memenuhi kebutuhan konsu­men, dan kebutuhan akan anyaman pandan ini sangat besar sekali peminatnya,” jelas­nya.

Pasar Terbuka
Tak dinyana, bila selama ini hasil karya war­ga Pandeglang tersebut banyak berte­bar­an di bumi Priangan. Bahkan dari sini pula anyaman setengah jadi tersebut diolah kem­bali untuk di hijrahkan ke Jajirah Arab. Pan­jang memang, untuk diceritakan. Tapi itulah sebuah realita, ketidakber­dayaan ekonomi reakyat di Pandeglang, guna mengangkat harkat martabatnya sendiri. Bila karya terse­but, bisa hijrah ke Jajirah Arabia melalui bumi Priangan, kenapa tidak dari Banten saja?

Selama ini boleh jadi warga Pandeglang sekalipun, ketika di lokasi Pangandaran, An­col maupun obyek isata yang tersebar di bu­mi Banten, menyangka topi pandan yang sudah dibentuk sedemikian rupa dihasilkan sepenuhnya oleh perajin-perajin kaki gunung Galunggung. Anggapan tersebut sah-sah sa­ja, terlebih masyarakat Banten dan Pandeg­lang khususnya, lebih mengenal warga Ta­simalaya sebagai wiraswastawan unggul.

Beberapa waktu lalu, kerajinan mereka selalu dipasarkan secara keliling keberbagai pelosok Banten. Selain itu, disana produk anyaman ini bisa didapatkan dengan mudah, mulai dari tikar, tas, topi dan lain sebagainya tersedia disana, sehingga nasib anyaman pan­­dan Cibeu­reum, seperti tamu di rumah sendiri.

Dari Desa yang masih akrab dengan rumah-rumah sederhana, berdindingkan bilik, cermin sebuah desa yang masih terting­gal setiap minggunnya tidak kurang dari 2 ribu kodi selalu dikirim ke kawasan Tasik­malaya.

Selain ke wilayah Tasikmalaya, anyaman pandan yang berbentuk barang jadi berupa tikar, pernah mang­alami masa jaya sewaktu harga cengkeh masih menjadi prima­dona. Saat itu, kenang Edi, bila membawa kodian tikar di ka­was­an Lampung tidak harus me­nung­gu lama. Begitu turun dari mobil tikar pandannya langsung dibo­rong. Dikawasan ini tikar pandan dipakai warga untuk menjemur cengkeh dan kopi.

Namun ketika cengkeh tidak lagi menjadi primadona, pema­saran ke ilayah Sumatera tersebut mulai berkurang dan akhirnya dilempar ke wilayah Tasikmalaya, walaupun dengan sistem barang setengah jadi. Tentu­nya harganya­pun tidak mahal, karena belum menjadi produk utuh, topi atau tikar misalnya. Tapi di Tasik inilah barang-barang tersebut menjadi primadona ekspor.

Dalam nalar bisnis, tentunya yang meng­ambil untung lebih, tidaklah pengusaha-pengusaha Tasik dan Pemerintah Daerahnya sendiri, bisa dibayangkan berapa kjumlah PAD yang tersedot dari sektor ini. Sementara dikampung asalnya Cibeureum, jalannya pun masih belubang-lubang.

Dalam skala harga normal, ungkap Edi, satu kali pengiriman ke Tasikmalaya bisa mengha­silkan uang sekitar 160 juta rupiah. Itu pun masih kotor, karena koperasi harus membeli lagi dari para perajin berikut biaya operasional.

Bila dimaksimalkan dengan kondisi modal yang ideal, perputaran uang dikawasan Ci­keper, Pandeglang perbulan­nya bisa men­capai 640 juta rupiah. Itu bila dikelola sepe­nuh­nya di kawasan Pandeg­lang. Rasionya, satu minggu mereka mampu mengirim hasil anyaman ke Tasikmalaya tidak kurang dari 2 ribu kodi. Perkodinya dihargai 80 ribu rupiah.

Bagaimanapun jua, apa yang diungkapkan Edi, harus menjadi kepedulian semua pihak. Gembar-gembor pemberda­yaan Koperasi dan UKM tak lebih sebuah oase ditengah bergelimangnya bantuan.

Keterbatasan ak­ses informasi tidak lantas membuat warga desa harus berjalan sen­dirian. Mereka perlu sebuah sentuhan berarti. Semakna dengan karya yang telah mereka persembahkan. Seperti halnya sosok Ra­wiah, di usianya yang senja masih tetap berkarya. Saatnya kita berpihak?

Rabu, 24 Juni 2009

Tentang Koperasi

Perkoperasian di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dan bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur.

Bentuk koperasi yang ada saat ini yaitu, Koperasi Primer, yaitu koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-perorangan, serta koperasi sekunder, yaitu koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi.

Fungsi dan Peranan Koperasi
  1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khusunya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
  2. Berperan serta aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
  3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional.
  4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Prinsip-Prinsip Koperasi
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besar jasa usaha anggota.
4. Pemberian balas jasa terbatas terhadap modal.
5. Mandiri, tidak tergantung kepada pihak lain.
6. Pendidikan perkoperasian untuk mewujudkan tujuan koperasi.
7. Kerjasama antar koperasi.

Pendirian dan Badan Hukum
Untuk mendirikan sebuah Koperasi Primer dibutuhkan minimal 20 (dua puluh) orang yang mempunyai kegiatan dan kepentingan ekonomi yang sama, misalnya sejumlah Karyawan dari sebuah perusahaan atau sekumpulan pedagang di sebuah Pasar. Sedangkan suatu Koperasi Sekunder diben­tuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi.

Pembentukan sebuah koperasi dilaku­kan dengan membuat AKTA Pendirian yang memuat Anggaran Dasar. Koperasi akan memperoleh Badan Hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah.
Untuk mendapatkan pengesahan Badan Hukum Koperasi, para pendiri harus mengajukan permintaan tertulis disertai Akta Pendirian Koperasi, berita acara rapat pembentukan Koperasi, surat bukti penyetoran modal (minimal sebesar simpanan pokok), serta rencana awal kegiatan Koperasi.
Pengesahan Akta Pendirian Koperasi akan diberikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan pengesah­an dan akan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. (Sesuai Pasal 10 ayat 2 & 3 UU No.25 tahun 1992)
Anggaran Dasar Koperasi dapat diubah, jika Rapat Anggota menghendakinya, dan apabila perubahan menyangkut pengga­bung­an, pembagian, dan perubahan bidang usaha Koperasi, harus dimintakan penge­sah­an dinas terkait (Kantor/Dinas Koperasi, Kementerian Koperasi).
Penggabungan (amalgamasi) dan peleburan Koperasi dapat dilakukan dengan pertimbangan pengembangan dan/atau efisiensi usaha pengelolaan Koperasi sesuai dengan kepentingan anggota. Penggabungan atau peleburan Koperasi dilakukan dengan persetujuan Rapat Anggota masing-masing Koperasi.
Perangkat organisasi pada Koperasi adalah Rapat Anggota, Pengurs, dan Pengawas. Rapat Anggota Koperasi merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi. Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggung­jawab­an Pengurus dan Pengawas mengenai pengelolaan Koperasi, dan dilakukan paling sedikit sekali setahun.

Kewajiban Anggota

  1. Mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota
  2. Berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan Koperasi
  3. Mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan.
Hak Anggota
1. Menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat Anggota
2. Memilih dan/atau dipilih menjadi anggota Pengurus atau Pengawas
3. Meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar
4. Mengemukakan pendapat atau saran kepada Pengurus di luar Rapat Anggota
5. Memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang sama antara sesama anggota
6. Mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi

Pengelolaan Usaha
Organisasi sebuah Koperasi mempu­nyai perangkat yang terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas. Pengelola dalam sebuah Koperasi merupa­kan pemegang kuasa dari Pengurus Koperasi yang diberi wewenang untuk mengelola usaha dan merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan, sedangkan tanggung jawab Pengurus mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota tidak menjadi berkurang.

Pengurus dan Pengawas Koperasi dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Pengurus mempu­nyai masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun, dan merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota. Untuk pertama kali, susunan Pengurus dicantumkan dalam Akta Pendirian Koperasi
Pengurus koperasi, baik secara bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita Koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kelalaiannya, dan apabila dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Tugas dari Pengawas Koperasi adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksa­na­an kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi serta membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya, dan Pengawas berwenang meneliti catatan yang ada pada Koperasi serta mendapat­kan segala keterangan yang diperlukan. Koperasi dapat meminta jasa audit kepada Akuntan Publik dalam rangka peningkatan efisiensi, pengelolaan yang bersifat terbuka, dan melindungi pihak yang berkepentingan.
Modal koperasi terdiri dari modal sendiri, berupa Simpanan pokok dan Wajib, Dana Cadangan, serta Hibah, dan modal pinjaman dari anggota, koperasi lainnya, Bank atau Lembaga Keuangan Lain, penerbitan obligasi, serta sumber lain yang sah, dan Koperasi dapat pula melakukan pemupukan modal yang berasal dari penyertaan.

LKM Syari’ah, Solusi Terbebas dari Riba

Sejak awal 1990-an mulai tumbuh dan berkembang lembaga keuangan mikro (LKM) yang menjalankan kegiatan usaha simpan pinjam dengan prinsip syariah. LKM syariah tersebut sebagian masih belum berbadan hukum, umumnya berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat. Namun terdapat pula LKM Syariah yang sudah berbadan hukum koperasi. Nama yang populer digunakan oleh LKM syariah tersebut adalah BMT, singkatan dari Baitul Maal wat Tamwil dari bahasa Arab yang berarti lembaga dana dan pembiayaan.

Lahirnya LKM syariah ini, didasarkan atas pandangan sebagian masyarakat, khususnya dari masyarakat Islam, yang melarang perbuatan riba. Usaha simpan pinjam yang menerapkan imbalan berupa bunga dipandang termasuk perbuatan riba. Kegiatan bisnis yang sesuai dengan sya­ri­ah adalah yang menerapkan system bagi hasil.

PP No 9/1995 sebenarnya telah meng­antisipasi kemungkinan usaha simpan pinjam yang beroperasi dengan prinsip syariah tersebut, yaitu dengan dimungkinkannya usaha simpan pinjam oleh koperasi menerapkan imbalan dengan sistem bagi hasil. Oleh sebab itu, tidak ada halangan bagi warga masyarakat untuk mendirikan KSP syariah atau meng­gunakan nama Koperasi BMT.

Ketentuan Dasar
Ada dua hal ketentuan dasar dalam operasional KSP Syariah yang membeda­kan­nya dengan KSP non Syariah (konven­sional), yaitu:
  1. Menerapkan sistem imbalan bagi hasil (profit sharing), baik untuk simpanan dan tabungan angota maupun untuk pinjaman atau pembiayaan yang disa­lur­kan kepada anggota. Sistem imbalan bagi hasil ini, adalah penerapan dari ajaran Islam yang melarang setiap transaksi yang mengandung unsur riba. Jika pada KSP konvesional menerapkan imbalan bunga yang persentase nominalnya ditetapkan di depan, pada KSP Syariah, besar imbalan ditetapkan sesuai dengan perolehan riil bagi hasil KSP Syariah dari berbagai usaha anggota yang biayanya dengan berbagai skema pembiayaan.
  2. Menanggung resiko secara bersama. Kalau pada KSP Konvensional menerap­kan bahwa resiko dalam menjalankan usaha berada pada anggota, dan tidak ikut menanggung kerugian jika usahanya merugi, maka pada KSP Syariah menerapkan hal yang sebalik­nya. KSP Syariah ikut menanggung dan berbagi kerugian dengan anggotanya yang usahanya mengalami kerugian, secara proporsional.
Operasionalisasi?
Tidak ada perbedaan mendasar antara KSP syariah dengan KSP non syariah (konvensional) dalam kegiatan mobilisasi dana. Seluruh sumber permodalan pada KSP syariah sama persis dengan KSP konvesional, seperti modal sendiri (simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan dan hibah), modal pinjaman dan modal penyertaan. Yang membedakannya hanyalah, dalam sistem imbalan terhadap tabungan dan simpanan berjangka, yaitu menerapkan sistem bagi hasil. Dalam hal ini, imbalan terhadap simpanan dan tabungan yang ditetapkan sebelumnya, tetapi berdasarkan perolehan bagi hasil KSP Syariah yang kemudian dibagi secara proporsional dengan jumlah simpanan atau tabungan anggota.

Jenis Pembiayaan
Ada dua jenis pembiayaan utama yang berlaku di KSP syariah atau BMT, yaitu pertama: pembiayaan bagi hasil (profit sharing) dan kedua; pembiayan jual-beli (sale and purchase).

Pembiyaan dengan pola bagi hasil ini digunakan untuk membantu memecahkan kekurangan modal kerja dan investasi yang dihadapi anggota dalam kegiatan usaha yang mereka jalankan. Dalam hal ini ada 2 pola bagi hasil, yaitu:
  1. Pembiayaan Mudharabah, adalah dari pembiayaan dari KSP syariah terhadap seluruh (100%) kebutuhan modal kerja yang secara rill dibutuhkan oleh peminjam dalam menjalankan usahanya. KSP syariah dalam hal ini disebut sebagai ‘shahibul maal’, sedangkan peminjam disebut sebagai ‘mudharib’. Peran dari peminjam hanya sebatas tenaga dan keahlian saja, sehingga resiko nominal seluruhnya ditanggung oleh KSP Syariah. Dengan pengertian ini, berarti seluruh kebutuhan investasi dan modal kerja disediakan oleh KSP syariah. Dengan skema ini, apabila proyek yang dibiayai mengalami kerugian, maka KSP syariah menanggung rugi nominal sedangkan mudharib tidak memperoleh apapun.
  2. Pembiayaan Musyarakah, pada skema pembiayaan ini, KSP syariah hanya mempunyai sebagian saja dari kebutuhan modal usaha bagi peminjam. Bisa hanya 40% nya, bisa 50% dari kebutuhan atau mungkin lebih. Bagi hasil dari pembiayaan ini adalah proporsional sebanyak modal yang dilibatkan oleh KSP Syariah terhadap usaha tersebut.
Pola jual-beli
Pembiayaan dengan pola jual beli digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya ter­uta­ma untuk mendapatkan sarana kerja atau peralatan produksi untuk pengem­bang­­an kegiatan usaha yang mereka jalankan. Dalam hal ini juga ada 2 pola bagi hasil, yaitu:
  1. Pembiayaan Murabah, Pengertian pembiayaan muharabah adalah, pem­biayaan oleh KSP syariah pada barang dengan harga pokok, kemudian disepakati nilai tambahnya dan kemudian dibayar oleh peminjam kepada BMT pada saat jatuh tempo, pada tanggal dan bulan yang disepakati dalam perjanjian.
  2. Pembiayaan al Bai’ Bitsaman ‘Ajil (BBA), pembiayaan dengan pola jual beli, selain dengan skema Murabahah, dapat pula skema al Bai’ Bitsaman ‘Ajil (BBA), yakni pembiayaan atas pembelian pokok suatu barang, ditambah dengan marjin yang disepakati dan kemudian dibayar secara cicilan (angsuran). Perbedaan antara Al Murabahah dengan BBA terletak pada cara pembayarannya. Pada Murabahah, pembayaran dilaku­kan secara sekaligus, sedangkan pada BBA dilakukan secara angsuran atau cicilan.(OZI)

Kisah Perajin ‘Duta Gerabah’ Banten

Sentra Gerabah Bumi Jaya

Siapa sangka, bila perkampungan yang tidak jauh dari pusat pemerintahan Provinsi Banten itu, ternyata menyimpan asset yang sangat berharga. Tangan-tangan terampil terus saja berkarya, mengolah tanah jadi keramik, bak sebuah tradisi leluhur kerajinan gerabah Panjunan.

Gerabah bumijaya, Ciruas Serang pernah mengalami puncak keemasan sekitar tahun 1990-an, jauh sebelum kepemimpinan Orde Baru jatuh. Saat itu, bukan sesuatu yang aneh, jika beberapa warga desa setiap bulannya selalu pulang pergi ke pulau Bali, sekedar memenuhi order gerabah pesanan langsung wisatawan manca, apalagi nilai tukar rupiah terhadap dolar masih bisa dibanggakan. Kalau pun di Bali mereka hanya menumpang di gerai-gerai punya orang, namun sedikitnya telah mampu merubah gaya hidup.

Perubahan memang selalu membawa dampak positif maupun negatip. Itu pula yang dialami ratusan perajin gerabah di Bumijaya, Serang. merosotnya nilai tukar rupiah membuat bisnis gerabah mengalami kelesuan. Karena saat itu, wisatawan manca mulai hengkang dari bumi pertiwi akibat, tidak menentunya situasi politik dalam negeri.

Tidak itu saja, dalam penuturan salah seorang maestro gerabah bumijaya, Tair, Pemerintah Kabupaten Serang, mengeluar­kan kebijakan, yang melarang perajin Gera­bah Bumijaya membawa tanah mereka ke Bali, kecuali dalam bentuk jadi (gerabah, red).

Sebelumnya, perajin gerabah Bumijaya memang tidak jarang membawa bahan mentah dari kampungnya dan dibuat barang jadi di Bali. Kebijakan itu, tentu saja dengan pertimbangan untuk meningkatkan daya saing produk lokal.

Namun cara seperti itu, ternyata sangat efektif dan murah. Perajin bisa menghindari pecahnya gerabah akibat benturan selama pengangkutan dari Serang menuju Bali, ongkosnya pun lebih murah. “Sejak kebi­jakan tersebut ada, kami dihadapkan pada mahalnya biaya. Apalagi membawa barang yang sudah jadi (gerabah) selalu saja ada yang pecah. Jelas kan, kami mengalami kerugian,” ungkapnya.

Walau dihadapkan pada masalah tersebut, ratusan tangan-tangan terampil terus saja berkarya, memenuhi pesanan juragan gerabah di pulau dewata. Seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional kala itu, masa keemasan gerabah Bumija­ya akhirnya mengalami kemunduran. Bali kini, dimata perajin Bumijaya, tak lebih sebuah kisah hidup sekaligus sebuah pelipur lara bagi anak cucu.

Banjir order yang sempat mampir dalam kehidupan warga ‘desa gerabah’ itu, kini seperti mimpi di siang bolong. Walau demikian, aktivitas perajin terus saja berjalan. Mereka rela berbasah keringat, walaupun kurang sebanding dengan rupiah yang didapat.

Tair misalnya, pria gaek ini yang dulu menjadi komandan ‘pasukan gerabah’ Bumijaya di Bali, kini hanya membuat gerabah bila ada pesanan saja. Kalau lagi kosong, ia hanya memandangi puluhan karyanya, yang berjejer di ruang belakang rumah, sekaligus sebagai workshop, tempatnya membuat gerabah.

Berbeda dengannya, tidak sedikit warga Bumijaya lainnya harus menerima kenya­­­­ta­­an pahit, terjerat dalam sistem ijon. Mereka membuat kerajinan dari tanah liat tersebut, setelah sebelumnya dipinjami uang oleh salah seorang juragan. Tentu saja, mereka mempunyai kewajiban men­jual karyanya tersebut, kepada yang bersangkutan.

Akibat lebih jauh, karya yang dihasilkan sedikitpun tidak bisa memberi­kan nilai lebih. “Ya… mau gimana lagi. Kita terima saja apa adanya,” tutur beberapa perajin suatu ketika.

Guna mengembalikan kejayaan gerabah Bumijaya, gerakan koperasi yang nyata, menjadi sebuah pilihan dan menjadi katup penyelamat. Namun demikian, dalam prakteknya masih menemui kesulitan. Faktornya, tentu saja masih lemahnya wawasan masyarakat akan pentingnya koperasi.

Betulkah demikian? Tentunya tidak semua berpendapat demikian. Para alumni pulau dewata tersebut, ada yang mendiri­kan koperasi dengan jumlah anggotanya kini lebih dari 50 orang perajin. Namun demikian, dalam perjalanannya masih senang di jalur lambat. Tidak sedikit dari anggota koperasi yang mau bergabung menjadi anggota dengan harapan mendapat bantuan dari pemerintah.

Memang semasa Menteri Koperasi Ali Marwan Hanan, Koperasi Warga Bumijaya yang dikomandoi Ta’ir dan Bedi, dibawah dampingan BDS LeMPER, sempat meng­­­aju­­kan bantuan permodalan lewat program Modal Awal dan Padanan (MAP). Namun, demikian bantuan yang diharapkan tak kunjung terealisir.

Kegigihan seorang Ta’ir, memang sudah teruji. Tidak lolos dalam program MAP, ia terus melakukan konsultasi dengan peng­­urus BDS LeMPER. Tentu saja, tidak dipungut bayaran. Melalui koperasi Warga Bumijya, para perajin terus saja mencari alternatif permodalan.

Ter­akhir, sesuai dengan kesepakatan pengurus, mereka mengajukan bantuan ke Bukopin. Akankah nasib baik berpihak? Hanya waktu yang menjawab. Yang jelas, gerabah Bumijaya pernah menjadi duta Banten, mela­lui karya emas putra desa yang tergolong minus.(ozi)

Senin, 22 Juni 2009

Geliat Perajin Sambigrowong Terganjal Alat Produksi

Perkampungan yang dulu sangat sepi itu kini mulai menggeliat. Sentuhan manajemen usaha, yang diberikan Layanan Pengembangan Bisnis (LPB) P-3M STIA MY Banten mulai menampakan hasil. Berbekal rasa kebersamaan dalam memajukan usaha, kiprahnya kini terlihat nyata.
Setelah menempuh perjalanan dengan pemandangan kanan kiri jalan areal persawahan, kemudian melewati perkampungan yang kondisi rumahnya sangat memprihatinkan, akhirnya Tim Swa UMKM sampai juga di perkampungan yang menjadi sentra garmen, dengan posisi arah timur laut dari Kota Serang.
Sambigrowong, demikian nama perkampungan yang kini mulai berbenah, utamanya dalam peningkatan ekonomi rakyat. Lokasi tepatnya di Kelurahan Sukawana, Kecamatan Serang, Banten. Bila dilihat sepintas, hingga kini perkam­pungan tersebut sangatlah ketinggalan. Walaupun jarak dari wilayah perkotaan Kabupaten Serang tidak jauh dan hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit saja, tapi daerah tersebut, seperti belum tersentuh pembangunan secara maksimal.

Soal wiraswasta, Sambigrowong dari dulu sudah banyak melahirkan wirausa­hawan yang potensial. hanya saja, tempo lalu sentuhan program pemerintah seolah belum menyentuh kehidupan warga. Kalaupun ada, hanyalah lipstik belaka, layaknya sebuah kebijakan yang bersifat top down.

Terlepas dari masih banyaknya sentra-sentra industri kecil di Provinsi Banten, hasil sentuhan program Kementerian Koperasi dan UKM melalui Dinas Perindag­kop Provinsi Banten, setidaknya melihat dari dekat geliat ekonomi rakyat di Sambigrowong, dengan aktifitas sentra garmennya, sedikit terjawab dan mulai terlihat nyata.

Dari 150 KK, kini 40 KK di kampung tersebut sudah memiliki pekerjaan yang layak. Usaha garmen sendiri adalah usaha turun menurun, yang konon katanya sudah beberapa angkatan menekuni bidang garmen. Walaupun berawal dari usaha keluarga, pada akhirnya usaha inilah yang bisa merekrut tenaga kerja dan bisa mem­perbaiki ekonomi keluarga secara langsung. Menurut data dari koperasi setem­pat, tidak kurang dari 130 tenaga kerja yang terserap dalam usaha tersebut, di saat orang kebanyakan bingung mencari kerja.

Teknologi Rumahan
Mendengar sentra garmen, bayangan kita hampir pasti berilustrasi dengan onggokan mesin-mesin yang berputar tiada henti, layaknya industri. Janganlah heran, bila di sentra garmen Sambigrowong tidak melihat pemandangan itu. Tak terlihat pabrik, apalagi ruangan produksi yang terlihat sesak dengan kesibukan para buruh.

Selama ini para perajin mengerjakan produksinya memang unik, mereka bersama-sama anggota keluarganya, tiga sampai tujuh orang mengerjakan kerajinan garmen dirumahnya masing-masing. Walaupun ruangan yang tersedia hanya berukuran 2 x 3 meter, ternyata setiap bulannya mereka bisa menghasilkan berlosin-losin potong pakaian yang siap jual.

Dari penuturan beberapa perajin, selama ini, jenis pakaian yang diproduksi tergantung dari pesanan. Guna memenuhi permintaan pasar lokal Banten dan Jakarta, para perajin memproduksi jenis setelan olahraga, pakaian seragam sekolah dan lainnya.

Derap irama mesin jahit seolah mengikuti terus perjuangan usaha bidang garmen yang tak kenal henti. Modal boleh saja pas-pasan, namun motivasi mengubah nasib kea rah yang lebih baik bagi penduduk setempat nampak sangat kuat. Itu terbukti, dari sekian banyak lahan pekerjaan usaha bidang garmenlah yang banyak ditekuni dan mampu menopang kehidupannya sehari-hari. Kendatipun banyak tantangan yang dihadapi perajin, misalnya masalah permodalan dan pemasaran yang makin hari makin terasa sulit.

Tidak itu saja, dibalik melambungnya nama kampung, ternyata bahan baku belum bisa dipasok seratus persen dari daerah sendiri. Masalahnya, apalagi kalu bukan faktor harga yang relatif mahal. Para perajin selama ini untuk memperoleh bahan kain dan bordiran, masih meng­andalkan pasar Jakarta. Menurut mereka, selain banyak bahan yang bisa dipilih, harganya pun relatif murah.

Kendala lain yang sering dikeluhkan oleh perajin, permodalan yang belum maksimal ditambah teknologi yang kurang mendukung, semisal mesin jahit dan obras yang sudah jauh ketinggalan. Kondisi yang jauh berbeda dengan industri garmen di daerah lain, utamanya di kawasan Priang­­an. Akibatnya, sangat berpengaruh terhadap hasil produksi.

Logikanya, mereka pengusaha garmen daerah lain seperti Bandung dan Jakarta, dalam satu jam bisa menghasilkan lima potong, tenaga kerja yang sangat banyak dengan biaya oprasional yang relatif rendah. Yang terjadi dan dialami para perajin Sambigrowong yang tergabung dalam koperasi “Wana Garmen”, dalam satu jam hanya mampu menghasilkan dua potang saja. Itu pun, dengan tenaga kerja yang sangat sedikit ditambah biaya oprasional yang lumayan tinggi.

Dalam bidang pemasaran, menembus pasar yang lebih luas harus berhadapan dengan produk dari daerah lain dengan kualitas yang bagus dan harganya relatif murah. Sebut saja, hasil produksi dari Kota Kembang, yang selama ini produknya menguasai sebagian pasar.

Nampak jelas, kekurangan perajin garmen Sambigrowong hanyalah alat produksi yang sudah jauh ketinggalan, sehingga berdampak pada kuantitas dan kualitas produksi, yang bermuara pada keharusan bersaing di pasaran.

Bantuan MAP
Peran pemerintah dalam memberdaya­kan dan mengembangkan sektor usaha kecil memang sebuah keniscayaan. Sektor kerakyatan ini, selain relatif tidak berma­salah namun menyimpan potensi besar dalam memberikan andil terhadap kas daerah.

Sedikit lega, dalam Program pemba­ngunan nasional (propenas) era Megawati, terlihat arah pembangunan ekonomi bangsa ini yang mengedepankan sektor Koperasi dan UKM. Namun demikian, dukungan dunia perbankan tetap saja masih condong kepada pengusaha besar. Bantuan-bantuan permodalan dari peme­rintah, nampak hanya sebatas stimulan, MAP misalnya.

Perajin garmen yang tergabung dalam “Wana Garmen” sedikit boleh bangga. Setidaknya, tahun 2001 lalu, berhasil mendapatkan modal pinjaman berupa Modal Awal Padanan (MAP) dari pemerin­tah pusat dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM RI. Sebuah bukti, sentra garmen Sambigrowong sudah bisa dilirik dan disejajarkan dengan produk garmen lain.

Usaha di bidang garmen memang sangat menjanjikan. Setidaknya, itu pula yang dituturkan H Harun, yang sudah lama melang melintang dalam dunia garmen. “Alhamdulillah, usaha kecil bidang garmen di Sambigrowong bisa tetap eksis, ini dikarenakan peluang bidang ini sangat menjanjikan bila ditekuni. Bagaiamanpun juga, usaha ini bisa menghidupi anggota keluarga saya sejak dulu,” ungkapnya.

Bagaimana tidak menjanjikan, menurut Harun, toh selama ini pengasilan rata-rata yang diperoleh keluarga dalam setiap bulannya, mencapai tiga hingga sembilan jutaan. Itu untuk bulan-bulan biasa. Tapi, untuk bulan 6 sampai bulan 12 tidak sedikit yang berpenghasilan lebih dari bulan biasa, dikarenakan musim masuk sekolah, sehingga permintaan pasar banyak.

“Sebetulnya untuk bulan-bulan tersebutlah panennya pengusaha kecil garmen Sambigrowong. Namun pada sisi lain, kita masih menemukan kendala yang cukup pelik, karena permintaan pasar yang cukup besar, tapi keadaan alat produksi yang tidak canggih dan terbatas, sehingga kadang permintan pasar tidak bisa terpenuhi secara keseluruhan,” lanjutnya.

Harapannya, kedepan pemerintah bisa lebih memperhatikan pengusaha lokal. setidaknya melalui usaha ini, masalah pengangguran bisa sedikit teratasi dan perekonomian masyarakat bisa tercukupi. “Untuk pemasaranpun kita akan mencoba masuk ke suatu daerah baik Jawa ataupun Sumatra. Asalkan tadi itu, alat produksi bisa lebih baik dari yang dipunyai perajin sekarang ini,” tegasnya.

Koperasi Wana Garmen
Awal berdirinya Koperasi Wana Garmen, didasari perkembangan sentra garmen Sambigrowong Desa Sukawana makin hari makin terlihat hasilnya. Hal itu untuk mengantisipasi jumlah 40 perajin yang semakin hari semakin bertambah dan telah mampu menyerap tenaga kerja. Dan didasari pula oleh perkembangan yang dirasakan sangat lamban, akibat kurangnya penanganan secara profesional, sehingga perlu menghimpun diri dalam suatu wadah kebersamaan usaha dalam bentuk wadah koperasi.

Koperasi Wana Garmen ini diprakarsai dan dibentuk oleh beberapa UKM garmen, dan telah mendapatkan pengesahan dari Dinas Perindagkop Serang dengan surat keputusan nomor 053/KEP/10.01/Subdin-Kop/XII/2002 tanggal 10 desember 2002.
Unit usaha yang disediakan koperasi adalah simpan pinjam, penyedian bahan baku konveksi, pemasaran hasil produksi konveksi, supplier dan perdagangan umum. Pada tahap awal, menurut Harun, unit usaha koperasi yang sudah berjalan adalah simpan pinjam, penyedian bahan baku konveksi dan pemasaran hasil produksi sentra garmen. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah pakaian olahraga, pakaian seragam sekolah, celana panjang, celana pendek/sontog, jaket, rompi dan lain-lain. Saat ini sentra garmen dan koperasinya dalam binaan LPB/BDS P-3M STIA MY Banten, sejak 2001 lalu, yang diharapkan berdaya saing dalam menghadapi era globalisasi. (saerojiforbis_doc)

Otonomisasi dan Kemandirian Koperasi


Oleh: Kamim Rohener
Pemred Tabloid Grahita

Konsepsi pembangunan koperasi selama orde baru yang membagi pembinaan dalam pembangunan koperasi kedalam tiga tahapan, pada hakikatnya adalah cukup baik, tetapi pola pembinaan yang demikian di satu sisi telah membuka celah bagi ekspansi pihak luar dalam pengambilan keputusan di koperasi.

Sedangkan di sisi lain, secara langsung maupun tidak langsung proses pembangunan koperasi dipengaruhi berbagai kepentingan yang tidak sejalan dengan kondisi tahapan pembangunan koperasi yang direncanakan.
Akibatnya, kondisi dan keberhasilan pembangunan koperasi sama dengan kondisi dan keberhasilan pembangunan sektoral yang dikaitkan dengan pembangunan Koperasi. Hal yang demikian sangat tidak relevan dengan tujuan dan cita-cita pembangunan koperasi. Seperti misalnya, keberhasilan pembangunan koperasi yang berorientasi pada program swasembada beras, adalah sama dengan keberhasilan program itu sendiri, sedangkan pengembangan peran koperasi dalam dunia perberasan tidak berkembang seperti yang terlihat bahwa eksistensi koperasi untuk terlibat dalam pemasaran beras, yang bukan untuk pengadaan stok nasional hanya berkisar antara 3,2 sampai dengan 5,2 %.

Dengan perkataan lain, koperasi melalui pola pembinaan masa itu belum diarahkan untuk bekerja secara efisien, sehingga tidak memiliki daya saing yang mampu mengangkatnya sejajar dengan perusahaan swasta (yang umumnya para pengusaha menengah).

Adanya anggapan bahwa pertumbuhan koperasi merupakan teka-teki dalam pembangunan juga sulit dimengerti, karena sesungguhnya peubah-peubah pembangunan koperasi dan indikator keberhasilannya baik mengacu pada teori-teori ekonomi maupun konsep normatif sudah cukup jelas.

Penyebab adanya kesenjangan dalam pembangunan dan ketertinggalan pertumbuhan koperasi dibandingkan sektor individual dan sektor negara juga cukup jelas, yaitu karena peubah lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh orientasi pembangunan ekonomi (mengejar pertumbuhan melalui industrialisasi yang padat modal dan merupakan upaya optimalisasi potensi SDM, secara tidak mempersiapkan sistem kelembagaan yang efisien), adalah tidak kondusif bagi pembangunan koperasi. Lebih celaka lagi, karena otonomisasi atau yang pada waktu itu diorientasikan pada satu sisi keberhasilan koperasi yang bersifat kuantitatif.

Dengan belajar dari pengalaman masa lalu dan memahami kondisi saat ini serta prediksi ke depan, maka telaahan yang lebih obyektif dan komprehensif mungkin dapat memberikan jalan keluar bagi upaya mempercepat pengembangan peran koperasi dalam sistem perekonomian nasional, yang merupakan indikator terwujudnya demokrasi di bidang ekonomi.

Otonomisasi KoperasiSecara diartikan sebagai upaya untuk menjadikan koperasi sebagai badan usaha ekonomi independen yang dapat mengambil keputusan sendiri dalam berusaha sejauh tidak bertentangan dengan norma/kaidah kaidah hukum yang berlaku. Pengertian otonomisasi juga diilustrasikan sebagai keterlepasan ikatan antara patron dan client-nya, dalam hubungan patron client leadership. Client dikatakan otonom, bila bisa mengambil keputusan sendiri untuk hidup dan mengembangkan kehidupannya.

Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan, indikator otonomisasi adalah keleluasaan pengambilan keputusan dari berbagai aspek usaha dari sejak perencanaan sampai dengan pendistribusian marjin yang bakal diperoleh.

Dengan demikian otonomisasi memerlukan kesamaan persepsi tentang tujuan arah dan strategi pembangunan koperasi dari semua pihak yang terlibat baik gerakan koperasi, pemerintah sebagai pembina maupun unsur-unsur lainnya dalam sistem perekonomian nasional.

Dari aspek historis keinginan untuk membangun koperasi yang otonom sudah dirintis sejak lama oleh Bung Hatta, tetapi pada masa itu kaitan koperasi dengan dunia politik sulit dipatahkan, sehingga koperasi banyak digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Di era orde baru kebijaksanaan untuk meletakkan kerangka landasan pembangunan pada periode awal pembangunan telah mengilhami keinginan membangun koperasi yang otonom. Untuk itu disusun konsep dan model koperasi yang otonom, yang di sebut dengan KUD model. Kekurangberhasilan pola KUD model kemudian melahirkan pemikiran kebijakasanaan menetapkan kriteria kemandirian koperasi dan melahirkan konsep pembinaan koperasi mandiri. Lahirnya kebijaksanaan tersebut menimbulkan pendebatan antara dua pihak, yaitu yang bersifat optimis dan yang bersikap skeptis.

Pihak pertama kurang mempersoalkan substansi dari pemikiran otonomisasi, sedangkan kelompok kedua mempersoalkan hak otonomisasi. Karena dalam kriteria ini tidak di sebutkan seberapa jauh koperasi yang disebut mandiri, terlepas dari keterkaitannya pada program pemerintah (rasio perbandingan kegiatan program dan non program baik dari aspek jenis usaha volume usaha maupun SHU yang di peroleh). Yang jelas, konsep kemandirian koperasi juga tidak dihitungkan seberapa besar peningkatan daya saing koperasi.

Usaha pembangunan koperasi merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai kendala dan peubah baik internal maupun eksternal koperasi. Oleh sebab itu, untuk membangun koperasi yang otonom, diperlukan pendekatan yang mampu mengatasi berbagai kendala struktural dan juga mampu mengeleminir berbagai peubah ekstrim. Prasyarat tersebut belum terlihat, baik dalam konsep maupun penerapannya dalam pembangunan koperasi, baik dalam koperasi/KUD model maupun dalam konsep koperasi mandiri.

Sebuah kajian menunjukan bahwa bahwa dengan jumlah anggota yang semakin banyak ternyata koperasi belum mampu meningkatkan pelayananya. Anggota yang banyak adakalanya cukup rawan bagi pembangunan koperasi, karena di antara mereka banyak yang belum jelas motivasinya dan pemahamannya tentang koperasi, sehingga cenderung merugikan koperasi.

Jelaslah, bahwa esensi dan pendekatan pembangunan koperasi yang hanya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dari aspek kuantitatif nampak sulit untuk menjadikan koperasi sebagai otonom.(published by Swa_kukm)

Revitalisasi Pemberdayaan KUKM di Banten

Oleh: Setyo Heriyanto

Provinsi Banten adalah termasuk provinsi yang relatif muda. Dengan usia yang muda tersebut tentu memiliki spirit/semangat dalam pembangunan yang menegejar ketinggalan dari provinsi lainnya.

Dengan kondisi geografis yang unggul karena terletak di ujung barat pulau Jawa, serta berbatasan langsung dengan ibukota negara. Yang jelas Provinsi Banten banyak memiliki keuntungan karena: menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatra, juga dapat menjadi penopang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang sudah sedemikian padat. Tentunya hal ini harus di jadikan sebagai acuan pembangunan Provinsi Banten, terutama dalam sektor usaha mikro kecil menengah dan koperasi (UMKMK).

Pembangunan UKM di Provinsi Banten, semestinya harus diarahkan untuk dapat mensupport kebutuhan masyarakat DKI, serta menjembatani arus barang dan jasa dari dan ke pulau Sumatra. Jadi usaha di bidang jasa transportasi, perdagangan serta produksi bahan-bahan kebutuhan pokok sangat besar peluangnya.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana pembangunan di bidang koperasi dan UKM? Tentu saja hal ini tidak terlepas dari target nasional yang ditetapkan oleh Kementrian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, sehingga pembangunan KUKM di Provinsi Banten juga harus menjadi bagian dalam mewujudkan 70.000 koperasi berkualitas dan menumbuhkan 6 jiwa wirausaha baru.


Provinsi banten perlu segera merumuskan sasaran yang hendak dicapai sampai dengan tahun 2009, berapa jumlah koperasi berkualitas yang akan di wujudkan dan berapa jumlah wirausaha baru.

Perlu Kebijakan
Dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan KUKM diperlukaan paket-paket kebijakan dari pemerintah daerah yang dapat mewujudkan iklim yang kondusif, keberpihakan serta partisipasi masyarakat yang meningkat. Ini sangat diperlukan karena pemberdayaan KUKM merupkan suatu hal yang melibatkkan seluruh unsur.


Kebijakan yang diperlukan meliputi bidang:

  1. Perizinan. Sebagaimana Perpres No 7 tahun 2006, maka segala bentuk perizinan harus dipercepat dengan prosedur yang mudah, dengan waktu penyelesaian dibawah 1 (satu) bulan. Hal yang demikiaan akan sangat membantu tumbuhnya wirausaha baru.
  2. Peluang dalam mengakses sumber sumber daya produktif. Diperlukan adanya informasi sumber-sumber daya produktif yang transparan kepada KUKM. Dengan demikian KUKM tidak akan kehilangan informasi atau momentum peluang usaha. Selama ini sumber daya produktif hanya diketahui dan diakses oleh perusahaan besar saja.
  3. Perlindungan. KUKM adalah termasuk katogeri ekonemi lemah. Adalah sangat tidak mungkin mengadu yang lemah dengan kuat dalam arena persaingan. Jadi KUKM memerlukan perlindungan.
  4. Pembinaan dan pengembangan. Pembinaan dan pengembangan harus dilakukan terus menerus, ini terkait dengan karakter UKM yang mudah goyah dengan adanya perubahan yang disebabkan oleh faktor eksternal.
  5. Konsistesi. Diperlukan keberpihakan yang terus menerus dari para stakeholders. Ini penting, sebab dengan adanya konsistensi kebijakan, perbaikan kebijakan, akan memperbaiki trend perkembangan KUKM.
Strategi Pemberdayaan
Untuk melaksanaan pemberdayaan KUKM perlu ditempuh melalui strategi sebagai berikut:

  1. Membuat peta koperasi dan UKM. Untuk mengetahui sebaran dan kondisi KUKM yang ada pada saat ini, dengan demikian akan dapat disusun program yang lebih fokus.
  2. Merumuskan kebutuhannya. Untuk mengetahui apa yang dibutuhkan, hambatan atau permasalahan apa yang dialami. Hal ini akan terkait dengan program yaang akan di susun.
  3. Menyusun program secara umum. Sehingga dapat di susun program yang tepat dan dapat mengatasi hambatan/permasalannya yang ada, karena sifat KUKM yang sangat heterogen dari segi jenis usaha, maka diperlukan program dengan kegeiatan yang detail.
  4. Menyusun langkah strategi berupa “spesial treathment” untuk sasaran-sasaran yang bersifat khusus, terutama yang dapat menjadi lokomotif penggerak bagi KUKM lainnya. Berupa kegitan-kegiatan yang taktis, sehingga mempunyai dampak/multiflier yang besar dan merupakan daya ungkit (laverage) bagi KUKM potensial.
Dalam rangka mengimplementasikan stategi tersebut diperlukan dukungan berupa pembangunan instrumen pendukung. Sebagaimana diketahui, instrumen pendukung yang diperlukan di bidang perekonomian diantaranya yang paling penting adalah berupa infrastruktur, sehingga dapat mendukung mobilitas dari KUKM.
Tetapi disamping infrastruktur tersebut, sesuai dengan karakteristik KUKM, diperlukan instrumen lain yakni berupa:
  1. Lembaga keuangan yang khas dengan kebutuhan KUKM, dalam hal ini yang sesuai adalah membangun kopersi simpan pinjam. Sebagian besar usaha kecil/usaha mikro berada dibawah naungan KSP dalam memenuhi kebutuhan permodalan. Oleh karena itu KSP harus di perkuat. Ini penting karena usaha kecil/usaha mikro sulit mengakses modal bank komersial. Namun demikian, diperlukan pula lembaga keuangan yang lain seperti pengembangan perusahaan modal ventura.
  2. Sarana/tempat promosi permanen yang dapat dijadikan sebagai media untuk mengenalkan produk-produk KUKM. Produk produk UKM pada umumnya tidak di kenal oleh masyarakat luas, karena kurangnya UKM dalam memproomosikan produknya, sehingga memerlukan media promosi. Diperlukan manajemen pengelolaan yang baik, sehingga KUKM potensial memiliki kesempatan mempromosikan produknya.
  3. Sarana diklat yang representatif, dengan basic pelatihan yang mengacu pada kompetensi. Diklat-diklat UKM harus diorientasikan pada diklat yang berbasis kompetensi, sehingga diklat yang ada merupakan diklat yang betul-betul diperlukan, bukan diklat yang bersifat umum dan manajemen tidak diperlukan, tapi diklat yang diselengarakan setidaknya mengandung muatan: bagaimana membuat produk yang efisien, berapa harga pokoknya, apa dan bagaimana produk yang diperlukan pasar.
  4. Membangun jaringan pemasaran dan pusat informasi pasar. Ini adalah dalam rangka memperluas pasar produk-produk UKM. Hal ini terkait dengan kebutuhan jangka panjang, dimana pasar yang luas dapat mencegah terjadinya over produksi.
  5. Mempercepat proses sertifikasai tanah usaha kecil/mikro. Bagaimanapun juga UKM yang berkembang akan memerlukan dukungan kredit komersial dari perbankan, sehingga sertifikasi tanah UKM menjadi penting. Dalam hal ini diperlukan pendataan tanah dan bangunan milik KUKM yang belum bersertifikat, untuk didukung melalui program percepatan sertifikasi.
Pada akhirnya untuk memberdayakan KUKM tingkat keberhasilnya dapat diukur melalui target kuantitaif. Disamping target itu juga diperlukan terget kualitatif, target ini dapat di ukur melalui:
  1. Peningkatan kontribusi UKM dalam menghasilkan PDRB. Pada saat diperlukan adanya data berapa persen kontribusi UKM dalam menghasilkan PDRB di Provinsi Banten, sehingga dapat ditetapkan setiap tahun akan dinaikan menjadi berapa persen. Dengan kenaikan tersebut input apa yang harus di masukaan melalui APBD.
  2. Peningkatan peranan UKM dalam menyerap angkatan kerja. Penyerapan tenaga merupakan suatu yang penting dalam rangka menyiapkan lapangan tenaga kerja produktif, sehingga dapat membantu mengatasi pengangguran.
  3. Partisipasinya dalam menopang angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten. Tingkat pertumbuhan perekonomian baik nasional maupun daerah, juga ada bagian yang merupakan kontribusi dari UKM. Semakin besar peranan dari UKM dalam perrtumbuhan perekonomian suatu daerah, akan memperbaiki struktur dan distribusi pendapatan.
  4. Peranannya dalam perdagangan antara pulau/daerah atau export. Dalam hal ini adalah untuk menguji apakah memacu perdagangan antar daerah surplus atau defisit. Kalau defisit berarti UKM di daerah tersebut masih kurang produktif. (published by Swa_KUKM)

Minggu, 21 Juni 2009

Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) dan ‘Avalis’ UKM di Banten

Oleh: H E R Taufik
(Staf Pengajar FE. Untirta dan Ketua STIE Banten)


Seperti halnya permasalahan Usaha kecil menengah (UKM) secara nasional, juga di Banten, diantaranya kesulitan pengajuan kredit yang sesuai dengan kebutuhan UKM. Sementara itu, perbankan mengalami keterbatasan untuk melayani UKM dalam jangkauan yang lebih luas. Disamping optimalisasi penyaluran kredit ke UKM terjadi kesenjangan antara skala kredit yang akan disalurkan dan kemampuan UKM untuk memenuhi skala ekonomis yang ditetapkan bank.
Adapun karakteristik permasalahan UKM di Banten, yang menonjol adalah keterbatasan syarat formal pinjaman ke bank, misalnya pemenuhan beberapa perizinan yang seringkali terbentur oleh masalah birokrasi; serta UKM yang tidak mendapatkan informasi lengkap tentang skim kredit perbankan yang sesuai dengan usahanya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih lemahnya kualitas SDM, serta tidak terdapatnya suatu pelatihan bagi para pengusaha kecil menengah.
Tentu saja hal tersebut berdampak pada loan to deposit ratio (LDR) atau rasio pinjaman dan simpanan rata-rata bank yang berkisar 40% hingga 50%. Artinya, penyaluran dana oleh perbankan ke UKM belum dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, daya serap kredit sektor UKM (2003) masih rendah karena dari sekitar Rp 42,3 triliun plafon kredit baru terserap Rp 26,9 triliun atau sekitar 64%. Kondisi ini pula yang menyebabkan iklim usaha yang belum kondusif bagi UKM. Kondusifitas ini selanjutnya berdampak kepada minimnya akses pelayanan dari lembaga penyedia jasa pengembangan usaha dan peningkatan produksi dan kualitasnya.
Dari permasalahan mendasar di atas, pertanyaan yang paling mendasar selanjutnya adalah mampukah UKM di Indonesia, khususnya UKM di Banten mampu bersaing di pasar global? Pertanyaan ini sebenarnya telah diuji secara empirik dalam badai krisis pada tahun 1997 yang memorak-porandakan roda perekonomian bangsa Indonesia. Berbagai sektor usaha dan perdagangan dibuat tidak menentu, bahkan tidak sedikit yang sampai jatuh gulung tikar.

Dampaknyapun masih terasa sampai sekarang, dan kondisinya masih belum dapat dipulihkan sepenuhnya. Dan hanya UKM yang mampu bertahan dibandingkan sektor lainnya. Hal itu disebabkan UKM tidak tergantung pada bahan baku impor yang harganya melambung di saat nilai kurs rupiah melemah. Akibatnya, UKM tetap bertahan karena menggunakan bahan baku lokal yang harganya relatif stabil. Ini adalah sebuah potensi, betapa peluang ke depan sebenarnya mampu diraih oleh UKM di tingkat global. Dengan potensinya yang cukup prosfektif, sebetulnya UKM mesti mendapat perhatian agar UKM mampu menjadi penopang bagi pemulihan perekonomian nasional; yang artinya berperan dalam perekonomian nasional dalam tingkat global.

Akan tetapi, sektor UKM belum sepenuhnya mendapat perhatian dan pemikiran kita bersama. Jika saja hal ini terus terjadi, maka potensi UKM yang belum berkembang secara optimal dewasa ini tidak dapat menjamin ia akan mampu bertahan menghadapi era globalisasi dan di berlakukannya WTO 2010 yang akan datang. Jadi diperlukan suatu persiapan yang tepat dan cepat menyongsong era pasar bebas yang semakin dekat tersebut. UKM harus dapat didorong dan berbagai kelemahan yang dimilikinya harus dapat diatasi supaya mampu bersaing dan tidak jatuh terlindas oleh kompetitor dari negara luar.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa dari dari segi kualitas (ujian saat krisis ekonomi) UKM telah siap untuk menghadapi masa tersebut. Namun, dengan masih banyaknya kelemahan yang dimilikinya, cukup menghambat dalam perkembangan UKM, seperti lemahnya manajemen usaha yang dimilikinya, yang menyebabkan sistem manajemennya tidak proporsional. Masih jarang UKM yang melakukan analisis bagi usahanya sehingga mulai dari rencana kerja (business plan) sampai ke sistem evaluasi kinerja usaha yang dibuat secara tertulis dan resmi tidak dimiliki.
Dana dan Lembaga Penjamin UKMDi tingkat permasalahan pendanaan, UKM dihadapkan kepada kendala prosedur yang harus dilewatinya, juga terdapatnya beban biaya bunga yang relatif tinggi. Selain itu, masalah klasik yang sering kita dengar dalam hal pendanaan dari bank adalah masalah kolateral atau jaminan. Di sini pihak bank dihadapkan pada posisi yang cukup sulit, di mana di satu sisi ia harus mampu menjadi penyandang dana bagi sektor yang cukup prosfektif ini, sedangkan di sisi lain ia harus mampu menjalankan prinsip frudential bank atau kehati-hatian bank dalam pengelolaan dananya.

Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya suatu lembaga penjamin pendanaan bagi sektor kecil menengah di daerah-daerah. Meskipun pemerintah pada tahun 1971 telah mendirikan Badan Penjamin Kredit, yang sekarang bernama Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU), keberadaannya masih eksklusif dan kurang terbuka sehingga baru dinikmati oleh sekelompok kecil pengusaha tertentu saja.

Selain itu, keterbatasan dan kurangnya pembinaan dan pendampingan dari pihak permerintah dan lembaga (instansi) terkait lainnya menyebabkan UKM sulit berkembang secara maksimal. Begitu pula dengan adanya keterbatasan informasi pemasaran, yang menyebabkan sulitnya UKM untuk memperluas pemasaran produk yang dihasilkannya. Mencermati masalah ini, sebetulnya menuntut peran serta pemerintah serta lembaga terkait lainnya, seperti lembaga perbankan, Deperindag, Departemen Koperasi dan UKM, serta pemda setempat, sangat diperlukan bagi perkembangan UKM. Seperti pihak perbankan yang dapat memberikan pembinaan mengenai sistem dan manajemen keuangan yang harus dilakukan UKM, Deperindag membantu menyediakan informasi pemasaran, baik domestik maupun impor. Departemen Koperasi dan UKM pun membina mengenai struktur usaha yang harus diterapkan. Lalu, pihak pemda berlaku sebagai penyedia sarana infrastruktur untuk mendukung dan menjamin kelancaran usahanya.

Meskipun dihadapkan pada berbagai permasalahan tersebut di atas, masih terdapat hal yang cukup menguntungkan dari UKM, yaitu terdapatnya keluwesan dalam pemasaran produk yang disesuaikan dengan jenis pasar yaitu lokal, domestik, atau ekspor. Pemilihan pasar disesuaikan dengan jenis, kualitas, dan harga produk yang dihasilkannya. Akibatnya, pemilihan pasar domestik yang besar akan menjadi peluang bagi UKM untuk menjadi pemasok barang, jasa, dan informasi yang mampu bersaing dengan produsen luar negeri.
Melihat peranan UKM yang cukup signifikan dalam perekonomian negara kita, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan pemulihan sistem ekonomi, sektor ini harus mendapat perhatian khusus, dengan menyegerakan keberadaan Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) sebagai supplement institution system diyakini penting dan strategis dalam program pemberdayaan sektor usaha kecil dan menengah di Indonesia. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman beberapa negara yang sukses membangkitkan struktur perekonomiannya yang berbasis UKM. Menyadari kenyataan belum optimalnya peranan LPK tersebut, diperlukan dukungan semua pihak, baik pemerintah termasuk Pemerintah daerah, kalangan perbankan, pengusaha, dan mereka yan peduli terhadap UKM.

Saat ini, memang akan segera dibentuk lembaga penjamin untuk usaha kecil dan menengah di daerah-daerah dalam kerangka Mengembalikan Peran UKM Sebagai Pilar Ekonomi Nasional. Syarat terbentuknya lembaga penjamin ini harus mempunyai modal minimal Rp 10 miliar untuk meningkatkan kelayakan kredit usaha kecil dan menengah.

Bagaimana dengan LPK di Banten? Seperti yang tengah diajukan oleh Komisi B DPRD Provinsi Banten, dengan usul inisiatifnya untuk membentuk LPK Daerah bagi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah: LPK Daerah Banten dimaksudkan sebagai lembaga penjamin kredit yang berbentuk perseroan terbatas, didirikan oleh Pemerintah Daerah dengan dukungan pendanaan dari pihak lainnya untuk menjalankan fungsi dukungan bagi UKM di Banten.
Dalam kerangka menyikapi usulan Komisi B DPRD Provinsi Banten tersebut, ada baiknya LPK yang hendak didirikan di uji terlebih dahulu rasionalitas, objektifitas dan kebenaran dari tujuan dan fungsi keberadaan LPK tersebut. Mengingat karakteristik, tipologi masyarakat Banten yang khas, ada baiknya LPK di Banten juga mengembangkan mekanisme "avalis" (penjamin kredit). Mekanisme avalis sebenarnya bukan hal yang asing. Biasanya dipakai jika seorang calon debitur kekurangan kolateral, dengan mengajukan seorang penjamin yang dianggap kredibel oleh bank tersebut, untuk menutupi kekurangan jaminannya tersebut.
Menurutnya pola-pola serupa sangat memungkinkan untuk dikembangkan, karena diyakininya banyak tokoh yang kredibel yang bisa dipercaya bank untuk menjadi avalis. Selain itu, lembaga-lembaga atau organisasi semacam Kadin (Kamar Dagang dan Industri) asosisasi pengusaha, juga bisa bertindak sebagai avalis.
Di masa depan, pemimpin sebuah organisasi, harus disyaratkan mampu menjadi seorang avalis. Sehingga selain dipastikan dia seorang yang dapat dipercaya, juga dipastikan mampu membantu anggota-nya dalam mengakses pendanaan. Untuk semua itu dibutuhkan kemauan dari berbagai pihak. Baik dari lembaga atau tokoh yang layak jadi avalis, maupun dari kalangan perbankan dalam memberikan kesempatan untuk mengembangkan cara ini.

Mekanisme avalis ini guna mengantisipasi berbagai kelemahan Lembaga Penjamin Kredit dalam hal efektifitasnya, mengingat SDM pengelolanya belum tentu memahami permasalahan yang berlangsung.