Minggu, 05 Juli 2009

Produk Orientasi Pasar, Betulkah Dijamin Laku...?


Orientasi pasar....! kalimat ini sering saya dengar, bahkan mungkin juga dengan anda, saat-saat mengikuti kursus maupun pelatihan pemasaran. Tujuannya tentu saja, produk yang kita bikin bisa laku di pasaran.

Lantas..., apakah dengan memasarkan produk berorien­tasi pasar, produk yang dipasarkan pasti laku. Benarkah demikian? dalam parktiknya tidak juga.

Menjadi perusahaan yang berorientasi pasar dan memasarkan produk yang berorientasi pasar memang perlu, tetapi tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan. Masih ada beberapa persyaratan penting lain yang diperlukan oleh perusahaan yang berorientasi pasar untuk dapat mencapai kesuskesan, antara lain:

Berorientasi ke pasar yang mana ?
Kemauan konsumen beragam. Ada yang menginginkan produk berkualitas bagus dan rela membayar mahal, tetapi ada juga yang lebih mementingkan harga murah dan tidak berkeberatan mendapat kualitas seadanya. Tentu saja tidak mungkin semuanya dapat dituruti dengan satu produk saja. Perusahaan harus dapat memutuskan pasar mana yang akan menjadi prioritasnya.

Pahami yang tersirat, bukan hanya yang tersurat dari pernyataan konsumen
Menjadi perusahaan yang berorientasi pasar bukan sekedar mendengarkan dan mengikuti permintaan konsumen. Sering­kali ada sesuatu yang tersirat dari pernyataan harapan konsumen. Lagi pula, kalau ‘hanya’ memenuhi pernyataan harapan konsumen, maka produk yang dihasilkan biasanya Cuma begitu-begitu saja

Diberi hati, minta ampela
Produk bagus seringkali masih dianggap belum cukup. Konsumen masih minta hadiah, masih minta program promosi, masih minta diskon, masih minta harga murah, dan sederetan permintaan yang lain. Perusahaan akan angkat tangan dan berteriak “ampun-ampun” kalau menurut semua permintaan konsumen.

Produk inovatif berorientasi pasar yang paling ideal adalah produk yang menang­kap dengan benar harapan konsumen, tetapi menawarkan keistimewaan atau manfaat yang berbeda atau unik, baik berbeda kompetitor maupun berbeda dari apa yang secara formal diminta konsumen.

Benang merahnya, memahami konsumen merupakan hal mutlak dan perlu, tetapi tidak cukup. Menjadi perusahaan yang berorientasi pasar merupakan pintu masuk, selanjutnya setelah pintu terbuka kita perlu melang­kah masuk dan melakukan sesuatu yang lain. Berorientasi pasar memang perlu, tetapi tidak cukup hanya dengan itu. Jadi jangan berpuas diri hanya dengan men­jadi perusahaan yang berorientasi pasar. Dan bisa jadi setelah kita mema­hami harapan, keinginan dan kebutuhan konsumen, maka yang dapat kita lakukan selanjutnya adalah mengajak konsumen untuk berubah.

Penggunaan produk telepon genggam banyak mengubah kebiasaan konsumen. Kita terbiasa dengan anggapan bahwa menggunakan telepon rumah untuk percakapan interlokal lebih hemat daripada menggunakan telepon genggam, apalagi pada jam-jam tertentu yang tarifnya murah. Tetapi akhir-akhir ini banyak perusahaan telekomunikasi seluler yang meniadakan biaya roaming (yaitu biaya tambahan untuk percakapan antar kota), dan bahkan ada yang menetapkan biaya percakapan sekian rupiah per-menit tanpa memperhatikan percakapan dalam atau luar kota.

Konsumen yang kritis akan mulai menghitung apakah biaya percakapan antar kota melalui telepon rumah tetap lebih rendah. Bila ternyata dengan telepon genggam lebih murah, maka konsumen akan merubah perilaku meneleponnya.

Penerapan sistem pembayaran dari paca-bayar menjadi prabayar “memaksa” konsumen untuk memilih. Jika pilihan jatuh pada sistem prabayar, maka konsumen yang tadinya terbiasa membayar biaya telepon setelah tagihan datang terpaksa merubah pola bayaran­nya menjadi membayar biaya telepon sekalipun percakapan belum dilakukan. {071}

0 komentar: